Rabu, 09 Desember 2015

PENDEKAR TIGA PEDANG (Chapter 8)

Detik berganti dengan menit dan menit berganti dengan jam. Minggu siang ini berganti menjadi Minggu sore, sore yang ku nanti-nanti yang penuh dengan pengharapan. Cuaca begitu cerahnya dan angin sore pun berhembus lembut menerpa pepohonan di belakang rumahku. Aku siap dengan rencanaku dan aku sudah menjadi raptor yang sudah hilang akal sehatku.
“Maaf kan om... Angga... Wahyu...”




















****
“Yap... sudah saatnya.”
Sore yang tenang.
“Angga.... Wahyu...” panggilku.
“Ya om...” jawab mereka.
“Kesana yuk.” Pintaku sambil mengajak mereka ke pepohonan belakang rumahku.
Suasana belakang rumahku itu lumayan enak dipandang mata. Dengan hamparan padi yang meluas dan hijau dengan sinar matahari sore yang cerah. Angin sore itu sangatlah sejuk yang menerpa wajahku yang sudah merah padam. Sepetak kebun kakao (coklat) bagaikan hutan yang menghalangi pandangan dari badan jalan ke arah rumahku. Cukup rimbun untuk menghalangi pandangan. Beberapa pobon kelapa dan pohon pisang juga membuat rimbun suasana di belakang rumah yang agak terpisah 30 meter dari rumahku.
“Bekal jajanan sudah siap, dan rencana jahat sudah dipikirkan. Waduh... kakak benar benar dah jadi predator nie. Dah jadi raptor. Hihihi... aduh... parah nie kakak.”
****
Di belakang rumah itu kami hanya bertiga saja tanpa ada manusia yang lain. Sambil ngemil jajan yang ku bawa tadi kami bercerita bercanda bersama di pinggir sawah. Mereka tidak ada curiga bahwa bakal ada sesuatu yang mengancam mereka. Akal sehat ini sudah enggak jalan dan logika juga tidak main lagi yang ada hanya nafsu masa puber.
“Argh... kakak dah parah! Gah gila tapi mau bagai mana lagi. Dah kebelet nie.”
“Maafkan om Wahyu... Angga...”
****
Sambil berbicara dan ngemil, panjang lebar cerita ini ku bawa ke mana-mana dan akhirnya sampai juga pada topik utama.
Eh, kalian kapan sunatnya?” tanyaku.
“Nggak tahu lah om.” Jawab mereka.
“Nanti lah om kalau udah besar.” Jawab salah satu di antara mereka.
“Enak loh nanti kalau sunat.” Ujarku.
“Ah, sakit lah om.” Jawab seorang dari mereka.
“Enggak, kan di bius. Nggak sakit lagi kok.” Timpalku.
“Nanti enak loh kalau udah disunat.” Tambahku lagi.
“Enak gimana om?” tanya salah satu dari mereka berdua.
“Nanti titit kalian jadi besar kayak gini.” Aku berdiri di hdapan mereka berdua yang sedang terduduk pada salah satu batang pohon di belakang rumahku. Aku memperlihatkan tonjolan tititku di hadapan mereka yang masih terbungkus celana jinsku.
“Mau pegang?” tanyaku ke mereka berdua.
Aku membimbing kedua tangan mereka untuk memencet-mencet tititku dari luar celanaku.
“Keras om.” Kata salah seorang mereka.
“Mau liat?” tanyaku.
“Mau om.” Jawab mereka penasaran dan kegirangan.
Jantungku berdegup kencang. Kenapa? Karena ini baru pertama kali tititku itu ku pulikasikan setelah aku sunat (khitan) yang setelah dari itu belum ada orang yang lihat tititku lagi. Aku masih canggung sebenarnya untuk menampilan tititku di hadapan mereka. Tapi mau bagai mana lagi, aku sudah terlanjur nafsu. Gilanya aku waktu itu. Hadeh...
Perlahan aku menurunkan resletingku. Aku melonggarkan ikat pinggangku dan sedikit memelorotkan celanaku. Maka tampaklah celana dalamku yang tampak jelas tonjolan yang keras di sana.
“Siapakah yang bersembunyi di sana?”
“Yap... si otong yang lagi malu malu ada di sana.”
Ku lihat mata merka seriu memandangi tonjolan itu dan menanti-nanti sesuatu yang sedang bersembunyi di balik celana dalam yang waktu itu aku lupa warnanya. Aku ingin seklai menurunkan celana dalamku juga di hadapan mereka tapi aku masih sangat malu dan canggung. Mereka masih menanti langkahku yang berikutnya. Oh.. no....
****
“Angga... coba kamu keluarin titit om nie.” Aku memerintahkan si Angga untuk mengeluarkan si otong dari tempat persembunyiannya.
Tak membutuhkan perintah dua kali si Angga langsung menerkam si otong dan segera mengelurkannya dengan cara sedikit memaksa.
“Au...” teriakku kecil saat si Angga menarik kasar si otong keluar karena ada beberapa rambut si otong yangtak sengaja ikut tertarik.
Mereka seolah-olah takjub melihat si otong. Mungkin ini kali pertama mereka melihat titit seorang remaja ABG seperti aku.
“Hadeh... aku nggak bisa kuat kalau teru-terus begini.”
Untuk beberapa saat mereka memandangi si otong dengan serius dan seksama. Dengan heran-heran dan takjub itu karena ukuran titit aku itu beda jauh dari ukuran yang mereka miliki. Aku memberi penjelasan tentang apa itu si otong. Bla... bla... bala... bla... dan akhirnya pelajaran edukasi seks pun dimulai. Ak menerangakan detai tentang alat reproduksi manusia, terutama laki-laki ini.
“Aku kan laki-laki, jadi yang ku jelaskan masalah lagi-laki aja.”
Aku menjelaskan bahwa yang disebut air mani yang merupakan sumber awal mula kehidupan seorang anak manusia. Itulah yang di miliki setiap ayah mereka yang akhirnya menghasilkan mereka. Mereka jadi penasaran tentang air mani itu. Mereka masih kelihatan bingung dengan penjelasan itu karena tidak memiliki contoh.
“Apa dua bocah ini perlu kakak kasi contoh ya?”
“Haduh... kakak akan senang hati memberikan contoh langsung kepada mereka nie.”
“Air mani... bagaimana cara mengeluarkannya ya?”
“Langsung aja ke praktek yuk! Jangan banyak bertanya lagi.”
****
Aku tutun kedua tangan mereka untuk mnyentuh si otong dan menggenggamnya. Si Angga sangat geram sekali menggenggam titit aku. Aku mulai mengocok titit aku dengan tangan mereka yang mungil dan halus secara bergantian. Jelas aja tangan mereka itu mungil dan halus karena mereka pada saat itu baru berusia 6 atau 7 tahun.
“Wah... rasanya beda dengan ngocok sendiri. Sensasi tangan mereka yang lembut mebuat kakak bisa terbang tinggi ke langit yang tinggi.”
“Masih lama lagi om?” tanya salah satu di antara mereka.
“Masih.” Jawabku.
Mereka masih menunggu yang namanya air mani yang sumber untuk menciptakan mereka dahulu. Bagaimana rupa air mani yang juga di miliki oleh ayah mereka.
“Jadi kapan keluarnya om?” tanya salah satu di antara mereka.
“Wah... kalau kayak gini lama nie bakalan.” Jawabku lagi.
“Cepatin lah om... aku mau lihat!” pinta seorang dari mereka.
“Aduh nggak bisa dicepat-cepatin nie.” Jawabku.
“Mau cepat keluar?” tanyaku .
“Iya om.”jawab mereka.
“Kalau kalian mau emut titit om, mungkin akan cepat keluar.”
Aku memberikan pilihan lain untuk permintaan mereka. Sore yang begitu indah di hari Minggu ini. Ini adalah ahri yang sangat bersejarah dalam hidupku dan aku tidak akanmelupakan hari ini. Di mana semua itu bermulai di sini.
****
“Jangan mulai sesuatu yang kamu tidak bisa akhiri.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar