Jumat, 18 Desember 2015

SEBUAH SYARAT (Chapter 10)

“Pangeran kecil kakak si Udin sebentar lagi di sunat dan hari yang sebelumnya juga sangat menyenangkan bersamanya saat berdua bersamanya di kebun abi. Setelahnya juga kakak melakukan hal yang sama dengan si Erlang di lokasi yang sama dan trik yang sama. Wah... kakak benar-benar sudah menggarap dua kakak beradik itu. Hihihihihihi......”

Sunat ya...

Sudah berani nggak mereka ya?

Kita lihat aja ya!

Aku sudah tidak sabar lihat prosesi sunatan mereka.


****

Di malam yang rame dan riuh ini Udin dan Erlang mau di sunat. Kira-kira siapa yang bakal disunat dahulu ya?

Melihat mereka saling dorong dan mempersilahkan satu sama lain, membuat yang hadir dalam prosesi sunat itu menjadi ceria. Aku pun ikut tersenyum melihat tingkah mereka.

Mereka memeng masih bocah ya?

Sepertinya mereka masih agak merasa takut, walau akhirnya si Udin sebagai seorang kakak menyerahkan diri duluan untuk di sunat.

Terlihat wajah yang waswas bercampur dengan gelisah terpancar dari matanya. Aku tahu kalau si Udin sebenarnya masih takut, tapi dia sebagai seorang kakak dia harus memberikan contoh teladan bagi adiknya. Seolah-olah dia ingin berkata “Ini, aku berani. Jangan takut dek, santai aja.” Begitulah kira-kira.

Dengan gagah berani si Udin menanggalkan celananya di hadapan mantri sunat. Terlihat otong milik Udin yang tak asing lagi bagiku. Masih lucu seperti sebelumnya, tapi mulai dari sekarang akan berubah bentuk menjadi bentuk kedewasaan.

Selanjutnya prosesi sunat pun dilaksanakan dan si Udin melihat sendiri bagai mana prosesi itu berlangsung. Dengan alunan musik dangdut di luar rumah membuat suasana menjadi sedikit heboh. Maklumlah, orang tua si Udin sedang mengadakan hajatan kecil dan mengundang warga-warga desa untuk ikut berhadir dan memeriahkan hari bahagia ini. Tak lama setelahnya prosesi sunatan itu pun selesai. Sekarang giliran si Erlang dan sepertinya dia masih takut tapi dia juga memberanikan diri sampai selesai prosesi sunatan itu tapi pada akhirnya dia muntah dan wajahnya pucat, mungkin karena takut.
****
Waktu berjalan dengan cepatnya dan si Udin pun telah sembuh dari bekas sunatnya. Udin dan Erlang sudah bisa main, naik sepeda dan yang lain-lain seperti anak yang lainnya. Mereka adalah dua kakak beradik yang menarik untuk diperhatikan.

Di waktu sore hari aku sedang berada di gudang yang bertepatan di samping rumahku. Ruangan yang tak begitu lebar yang penuh dengan peralatan yang tidak terpakai tapi mungkin sayang abi untuk membuangnya. Ruangan itu tidak begitu luas, sekitar 2x3 meter mungkin dan terdapat dipan kecil di dalamnya yang terbuat dari kayu. Abi juga sering tiduran di situ. Ada seseorang bocah yang menghampiriku di sana dan wajh bocah itu tak asing lagi di mataku.
Udin...

****

“Om... minta duit om!” si Udin menyamperiku dan langsung to the point.
Aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Sebenarnya ini adalah sesuatu yang biasa bagi anak-anak di kampungku, yaitu minta duit kepadaku. Aku biasa memberikan duit sekedarnya untuk jajan mereka, karena aku sangat sayang dengan mereka dan aku juga memanjakan mereka. Tidak ada anak atau bocah di kampungku yang tidak ku kenal namanya dan tidak akrab samaku, semuanya kenal dan sangat akrab denganku. Bocah mana sih yang tidak mau disayang dan dimanja? Pasti semua bocah suka diperlakukan seperti itu. Begitu juga dengan si Udin.

“Eh... boleh. Tapi ada syaratnya kalau mau minta duit.” Candaku iseng.

“Apa?” tanya Udin.

Apa ya yang cocok sebagai syarat si Udin kalau dia minta duit nie?

Binggo.... dapat ide nie.

Sekarang kan si Udin sudah sunat dan dia sudah memasuki dan mau diakui sebagai orang yang dewasa, jadi persyaratannya adalah apakah dia benar-benar sudah dewasa apa belum. Hihihihi...
Bagaimana cara ngetesnya ya?

“Udin sudah bisa keluar mani apa belum? Kalau sudah om kasi duit.” Begitu persyaratanku.

“Beneran om?” tanyanya lagi.

“Iya.” Jawabku.

Aku ajak dia masuk ke dalam gudang tempat penyimpanan barang yang tadi sudah ku jelaskan terus ku tutup pintunya.

Next...

Perlahan Udin membuka resleting celananya. Dan merusahan menglurkan otongnya dengan bentuk yang berbeda dengan yang sebelumnya ku lihat di kebun abi. Ukurannya juga agak bertambah perkiraan aku. Dan Udin memulai aksinya, mengocok-ngocok tititnya.

Aku hanya bisa melihatnya melakukan itu. Udin duduk di kananku di dipan dalam gudang. Lumayang lama dia melakukan aksinya itu sampai akhirnya dia lelah melakukannya dan dia bingung harus buat apa. Kalau dia berhenti sekarang dan menyerah tandanya dia tidak akan dapat apa-apa dari yang dimintanya tadi, tapi kalau dilanjutkan juga dia juga sepertinya nggak yakin kau bisa mengeluarkan sesuatu yang ku pinta tadi. Sungguh pertaruhan yang tidak seimbang menurutku.
Dengan sedikit frustasi ku katakan kepada Udin.

“Sini biar om yang bantu kocokin.” Tintaku sambil menyinggirkan tangannya dari otongnya.

Aku langsung mengkocok si otong milik si Udin. Dia memperhatikan sambil mencoba menikmati permainan itu, atau dia belum bisa merasakan enaknya dikocokin?
Apa pun itu aku kerjakan sesuatu yang aku suka.

Perlahan aku mengocok otong si Udin dan lumayang terasa pegel juga nie tangan tanpa ada tanda-tanda dia mau keluar. Dan aku juga bosan melakukan itu dan aku juga akhirnya ngocok juga di sampingnya tapi Udin yang kocok si Otongku dan bergantian aku juga kokcok otongku akhirnya. Cukup lama dan aku sudah tidak bisa menahan lagi sesuatu yang hendak keluar dari dalam tubuhku. Suatu yang nikmat yang terpancar kencang bebas begitu saja ke udar. Cairan putih kental telah mengakhiri permainanku.

Time is over...

Permainan selesai dan aku sarungkan kebali si otong kedalam sarangnya. Sedikit kecewa dan kecewa lebih besar dimiliki si Udin karena aku bakal tidak penuhi permintaannya. Kalau sesuai perjanjin sih seperti itu. Kasihanya? Aku dah capek dan ingin meninggalkan tempat itu, tinggalkan si Udin dengan kekecewaannya.

****

“Haduh... aku jahat banget ya...”

“Betapa kejamnya dunia ini.”

Apakah usaha Udin yang barusan menjadi sia-sia? Apa ada suatu keajaiban atau trik untuk ini? Yang pastinya Udin sangat kecewa. Hahahaha...

****

“Om... aku mau buat persyaratan baru.” Ucapan itu terlontar begitu saja dari mulut Udin.

Apaan?” jawabku.

Aku mau emut titit om kalau aku dikasi duit nanti.” Udin mempertegas persyaratan barunya.

What? Jantung ini berdebar rasanya mendengar perjanjian baru yang dibuatnya. Terima nggak ya?

****


“Seorang pemenang itu adalah seorang yang tidak putus asa dan terus mencoba. Kalau mengalami kegagalan, ya... tinggal coba lagi sampai mendapat hasil yang diinginkan. Intinya tidak menyerah dengan keadaan ini, maka kita akan dapatkan yang kita inginkan.”

4 komentar:

  1. Kenapa cerita abang jadi kayak gini...(๑•́ ₃ •̀๑)

    BalasHapus
  2. Maaf, emang begitu kehidupan abang waktu itu.
    Maaf ya....
    Hehehehehe....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Engga apa apa bang (✿ *´ `*)

      Hapus