Rabu, 10 Februari 2016

MALAIKAT PENJAGA (Chapter 13)

Seumur-umur baru kali ini aku tidak tidur di rumah tanpa izin. Walau tidur di rumah tante, tapi tetap saja tanpa permisi. Dalam langkahku aku berpikir “Apa yang akan terjadi denganku setelah ini?” sambil kulangkahkan kakiku menuju rumahku yang tak jauh sih dari rumah tante.

Suasana Minggu pagi yang sejuk dengan kicauan burung murai yang sudah mulai langka ku dengar mengiringi langkahku pulang ke rumah. Aku melewati sepetak tanak yang ditanami pepohonan kakau oleh warga. Pepohonan kakau tersebutlah yang memisahkan antara rumahku dan rumah tante.

“Hah... aku tidak menyukai kalau aku harus berada di rumahku.” pikirku dalam hati.

Aku merasakan firasat yang tidak enak ketika aku sampai di depan rumahku.

Bagai mana tidak, aku yang seumur hidup tidak pernah meninggalkan rumah di malam hari tanpa izin untuk tidak tidur di rumah. Ini pertama kali aku pulang jam 11 malam dari bermainku. Mungkin bagi sebagian temanku itu hal wajar untuk anak seusiaku, tapi itu tidaklah wajar di keluargaku.

Kini aku sudah duduk di kelas 2 SMP, tapi aku masih saja diperlakukan seperti anak SD. Hidup penuh dengan aturan yang ketat dengan abi yang keras mendidik kami. Apa pun itu, kakak laki-lakiku saja tidak pernah melanggar peraturan yang tidak tertulis itu meski mereka sudah SMA.

****

“Sandi dari mana aja, kok nggak pulang ke rumah?” tanya Umi cemas.

“Aku dah pulang tadi malam mi, tapi pintunya aja yang nggak dibukakan.” Jawabku

“Jadi tadi malam tidur di mana?” tanya umi lagi.

“Aku tidur di rumah tante.” jawabku lagi.

Umi sepertinya sangat cemas karena aku malam tadi tidak nginap di rumah. Tapi apa yang harus ku lakukan kalau aku sendiri juga tidak boleh masuk kedalam rumah pada saat itu. Sekarang aku hanya bisa melakukan rutinitas harianku saja di rumah, apa yang bisa ku kerjakan biasanya seperti menjaga kedai dan yang lainnya. Hari ini adalah hari Minggu pagi yang sangat tenang dan abi sudah pergi ke sawah.

****

Berkutat dengan kegiatanku sehari-hari yang biasa-bisa aja dan sekarang matahari sudah tinggi. Taklama kemudian abi pun pulang dari sawah dan bergegas mandi dan setelahnya sholat dzuhur. Terlihat dari wajahnya bahwa abi lagi capek dari sawah dan sekarang setelah melihatku sudah pulang ke rumah dia mendekatiku. Dengan langkahnya yang cepat abi menghampiriku.

“Plak...” terdengar suara itu keras.

Suasana rumah menjadi hening sejenak.

Umi terpaku melihat arah suara tersebut.

Waktu seolah tehenti dan menjadi hening. Kepalaku tertunduk dan aku menjadi seperti sebuah patung yang tak bergerak di hadapan abi. Apa ini?

Abi marah seketika itu juga, tapi aku tidak merespon apa yang diucapkan abi. Aku hanya tertunduk seperti layaknya seonggok jasad yang ditinggalkan ruhnya. Entah mnegapa aku merasa dunia ini begitu hampa.

****

Umi menghampiriku setelah abi meninggalkanku. Umi cuma mau memastikan kalau aku tidak apa-apa dengan bertanya ini itu, tapi hanya jawaban dingin yang ku berikan. Aku masih tidak merubah posisiku saat umi datang tapi setelahnya aku pun pergi meninggalkan umi.

Setelahnya terdengar perdebatan antara umi dan abi di kamar mereka.

Hah...

Ini semua adalah sebabku...

Sampai kapan ku harus begini?

Mungkin entahlah...

Entah sampai kapan.

****

Di sebuah bangku panjang di depan kedai aku termenung. Termenung aku memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Baru kali ini abi memukul wajahku.

Pikiranku kembali mengingat kejadian-kejadian yang ku alami di masa yang telah lalu. Seberapa sering abi memukulku? Tapi sepertinya tidak sering sih. tapi kali ini emang sudah diluar dari hal yang biasa. Abi memukul wajahku.

Bukan sakit di wajahku yang ku rasakan, tapi sakit di hati ini yang telah kering akan kasih sayang. Hatiku begitu hampa. Hidupku emang benar-benar kacau.

****
Setelah mendengar penjelasan dari umi, ternyata abi dah tahu kalau aku tadi malam sebenarnya sudah pulang. Umi kecewa sama sikap abi karena membiarkan aku berada di luar rumah di malam hari yang dingin. Wajar bila aku menginap di ruamh tante kalau kejadiannya seperti itu. Umi membelaku di hadapan abi, dan umi rela bertengkar dengan abi karena membelaku.

Hah...

Sebuah pertengkaran antara umu dan abi...

Walau cuma adu suara dan argumen saja.

Maafkan Sandi mi...

Karena Sandi umi sering bertengkar dengan abi.

****

Kehidupanku yang semakin kacau saja membuat diriku semakin gerah. Pertikaian semakin panas karena tingkahku di rumah menyebabkan abi dan umi tegang-teganggan urat leher, saudaraku yang lain sudah bosan juga lihat tingkahku dan masih banyak yang lain yang menambah kejengkelan hidupku ini. Aku sudah tidak tahan lagi.

****

Tak apa lah...

Walau badai menerpaku di rumah, aku masih bisa main ke rumah Hamdani Kecil dan main playstation di sana atau sekedar bermain dengannya. Zain temanku di kampung ini juga tidak diperbolehkan main denganku sama abi. Kalau yang lain juga aku nggak begitu kenal.

Hah...

Hidupku yang penuh dengan kekecewaan.

Aku juga masih kecewa sama diriku.

Berapa banyak lagi masalah yang akan timbul karena keegoisanku semata.

Umi...

Maafkan Sandi.

****

“Apapun yang kakak lakukan benar atau salah, tapi umi tetap tidak terima kalau kakak di sakiti walau yang pukul itu adalah abi kakak sendiri. Begitulah pengorbanan umi dan kasih sayangnya. Kakak saja yang sering buat masalah untuk umi. Kakak tidak akan buat hati umi terluka lagi walau kenyataannya masih sering saja umi menangis karena kakak. Maaf umi...”



Kamis, 07 Januari 2016

KOSONG (Chapter 12)

Kini kau telah mendapatkan tiga bocah yang selalu menemani aku ketika aku lagi ingin. Walaupun nafsu ini bebas bersama mereka aku tetaplah merasa kesepian dan kekosongan di hatiku ini. Entah mengapa aku masih merasa ada yang kurang dalam hidupku. Aku masih saja tidak paham.

Dengan bujuk rayuku kepada dua bocah pertamaku Wahyu dan Angga aku melepaskan kegelisahan hatiku, mereka temani hariku. Entah mengapa, aku hanya melihat mereka hanyalah mesin pemuas nafsuku saja. Walau aku suka bermain bersama mereka dan anak-anak lainnya yang seumuran dengan mereka dan selalu baik terhadap mereka, aku hanya sekedar sayang yang normal saja dan itu tidaklah lebih.

Hari-hariku ku habiskan di belakang rumah yang ditemani sembunnya sawah dan pepohoan kakau yang lebat bersama dua bocah, Wahyu dan Angga. Mereka tetap tenang saja bersamaku dan tidak pernah berbuat macam-macam. Asal perut mereka kenyang dan hati mereka senang, mereka akan menuruti perintahku, itulah mereka.



****

Di lain sisi kehidupanku, aku hanya seorang anak biasa. Biasa di bully di sekolah, biasa dimarahi di rumah, biasa tidak memiliki teman. Semua itu menjadi hal yang biasa dalam hidupku. Di rumah aku hanya melihat teman-teman seumuranku yang sedang asiknya bermain-main di halaman depan rumahku, hampir setiap sore mereka bermain bola kaki di situ. Aku hanya bisa memandangi teman-teman sekampungku yang bahkan aku hampir tak pernah bermain dengan mereka. Aku hanya seorang anak biasa.

Bagi orang-orang aku hanya ini adalah anak culun dan penurut, bagi keluargaku aku adalah seekor kucing hitam yang harus diawasi, tapi sebenarnya aku adalah predator. Raptor si predator.

****

Hari ini aku sedang berada di sekolahku melakukan rutinitasku seperti biasa. Hamdani selalu setia menemani hariku di sekolah. Aku menjalani hariku yang biasa di sekolah bersama Hamdani teman akrabku. Kalau di rental playstation Hamdani Kecil juga selalu setia menemaniku di sana. Di kampung tetap saja aku melihat dua bocah yang selalu bersama dan selalu berkeliaran di pekarangan rumahku, Wahyu dan Angga. Hidupku terasa kosong.

Abi hampir tiap hari memarahiku dan Umi hampir tiap hari menasehatiku. Kedua kakak laki-lakiku juga tak mau kalah untuk memarahiku. Aku merasa hilang tak bermakna di rumahku sendiri. Pekerjaan abi tidak ada yang mau ku bantu karena setiap apa yang ku lakukan untuknya tidak pernah dihargainya, semua salah dan tidak layak disebut pekerjaan. Itu sebabnya aku tidak membantu abi. Jadi aku merasa tidak berhak menuntut apa pun dari abi, aku di rumah hanya numpang tinggal dan makan saja, kerja pun yang sewajarnya aja di rumah.

****

Hampi setiap malam aku keluar rumah untuk bermain playstation, entah itu di rental playstation langgananku yaitu rumah Hamdani Kecil atau di tempat yang lain yang tidak begitu jauh juga dari rumahku. aku merasakan kekosongan hati yang teramat dalam di dalam hatiku, aku telah kehilangan kehangatan cinta dari keluargaku. Inilah harga yang harus ku bayar untuk kebebasanku. Bukannya aku tidak mau dapat cinta kasih dari mereka tapi karena aku tak bisa menjadi anak yang baik di mata mereka, aku tidak bisa mengikuti semua aturan yang ada di rumah.

Walau terkadang aku terlihat bahagia dan selalu memasang wajah senyum, bermain bersama teman sekolahku, bermain bersama Hamdani Kecil dan Hermawan temannya, juga bersama Wahyu dan Angga di kampung, aku tetap merasakan ada yang kurang. Mereka semua tidaklah bisa melengkapi hidupku, walau mereka semua dapat menggembirakan aku.

****

Waktu sudah menunjukkan jam 23.00 wib. Segera aku beranjak dari rental playstation menuju rumah. Tak biasanya juga aku itu pulang sampai selarut ini. Mungkin bagi sebagian temanku jam segini masih terlalu cepat untuk pulang tapi di keluargaku yang supersibuk, mereka mematok jam segini itu sudah sangat lewat batas karena mereka mau istirahat untuk aktifias esok hari.

Berjalan sendiri di kesunyian malam dengan hati yang hampa. Walau sesaat aku merasa bahagia ketiaka sedang main playstation, tapi aku merasakan kehampaan yang berkepanjangan setelahnya. Semakin sering aku meninggalkan rumah untuk main playstation, semakin jauh jarak yang ku buat dengan keluargaku.

Sesampainya aku di depan rumahku, aku melihat suasana sudah gelap cuma lampu teras saja yang masih hidup. Aku ketuk pintu sambil memanggil umi.

Tok Tok Tok “Umi...” begitulah sambil berulang kali aku  mengetuk pintu sambil memanggil-manggil umi.

Biasanya umi yang selalu setia membukakan pintuku, tapi kali ini tidak ada respon dari dalam rumah.

“Apa mungkin semua penghuni rumah sudah tertidur?” begitu yang ku pikirkan.

Lama aku ketok pintu depan rumahku berharap ada yang membukakan pintu, tapi tetap saja tidak ada yang membukakan. Malam sudah semakin larut dan aku masih saja berada di luar rumah. Merenungi nasib di luar rumah sambil ditemani nyamuk yang banyak.

“Hah... inilah hukuman untukku ya? Tak mengapa.” Begitu pikirku.

Lama aku mengenang kehidupanku yang kian hari makin berantakan.

“Akankah aku harus menunggu pagi di sini?” aku berpikir untuk menentukan pilihan.

“Dingin... malam yang dingin dengan banyak nyamuk.”

****

“Yup... aku putuskan untuk pergi kerumah tante.”

Biasanya aku itu juga nginap di rumah tanteku yang sudah tua itu yang sudah ditinggal mati suaminya. Tapi kali ini aku kan belum minta izin untuk nginap di sana dan tanteku juga belum tahu aku akan datang.

“Tak mengapalah, semoga tante izinkan aku nginap di rumahnya.”

Rumah tante tidaklah jauh, hanya 200 m dari rumahku. tiap hari juga aku melewati rumanya kalau mau main.

Ku langkahkan kakiku ke rumah tante dan aku ketuk pintunya sambil memanggilnya.

Tok tok tok “Tante...” begitu panggilku.

Tak berapa lama pintu pun dibuka dan aku dipersilahkan masuk dan diperbolehkan juga menginap malam ini di rumahnya.

****

Aku berbaring di sebuah kamar di rumah tante, tempat biasa aku tidur ketika menginap di rumah tante. Rumah tante memiliki 3 kamar: kamar tante, kamar anak perempuannya, dan kamar anak laki-lakinya dan aku tidur di kamar anak laki-lakinya yang lagi tidak ada di tempat. Wasih merenungkan hal yang sama, tentang nasibku dan kekosongan hatiku dan tak lama setelah itu aku pun tertidur.

****

Aku ingat hari itu adalah Minggu pagi karena tidak ada sekolah.

“Kamu tidak pulang ke rumah? Nanti dicari abi dan umimu loh.” tanya tante.

“Iya Tan...” jawabku.

Aku bergegas pulang ke rumah dan mendapati umi sudah cemas melihatku, aku tidak menemukan abi karena abi sudah pergi ke sawah.

****

“Apa yang bakal terjadi kalau aku bertemu abi ya?” itu yang ada dalam pikiranku.

****

“Adek kakak... seberapa pun besarnya kasih sayang dan kesenangan yang kita dapatkan di luar, itu tidak akan bisa menggantikan kerinduan hati kita terhadap keluarga kita. Walaupun keadaan ini semakin rumit, kakak masih berharap mendapatkan kasih sayang dari keluarga kakak. Kakak ingin mereka yang mengisi kekosongan hati kakak dengan kasih dan cinta mereka.”

 

Senin, 21 Desember 2015

PERSYARATAN BARU (Chapter 11)

Hidupku yang sudah kacau makin bertambah kacau lagi dengan hadirnya Udin dengan kikapnya yang berbeda kepadaku. Bukan hanya Wahyu dan Angga, tapi sekarang Udin juga sudah menjadi korbanku atau aku yang sebenarnya yang telah menjadi korban dia nie?

Awal mula aku mengemut titit juga titit Udin yang pertama kali masuk kedalam mulutku. Aku yang telah memulai semua ini dengan si dua bocah bersaudara Wahyu dan Angga, sekarang bertambah lagi satu bocah yang umurnya Cuma 2 tahun dibawah aku. Dia adalah si Udin.

Pada awalnya aku yang iseng ingin mengerjai si Udin dan akhirnya aku yang tidak bisa lepas dari permainannya. Aku kalah dalam permainan yang ku kira aku yang memulainya, tapi ku rasa aku sudah di dalam permainan si Udin.


****

Masih dalam gudang yang penuh dengan barang-barang yang tidak terpakai, aku masih berduaan di tempat yang sempi itu bersama Udin. Perasaan dek-dekan mendengar penawaran yang telah dilontarkannya tadi, akan kah aku menerimanya?

Kali ini aku telah kena skak mat sama si Udin. Aku tidak bisa menyembunyikan bahwasannya aku bersedia untuk memenuhi persyaratannya yang telah dibuatnya. Dada ini berdegup dengan kencang.

Suasana sore itu masilah sangat tenang, tapi aku juga merasa was-was karena abi bisa kapan saja masuk kedalam tempat ini. Tapi aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan kali ini. Aku harus bisa, itu yang ku pikirkan.

Bisa untuk main game berat bersama Udin.

****

Gimana Om?” tanya Udin.

“Ya udah.” Jawabku.

Sekali lagi aku menurunkan kecelanaku dan mengeluarkan si otong lagi. Aku  duduk di sebelah kiri Udin di atas dipan kayu itu. Perlahan kepala Udin mulai menunduk ke arah perutku dan ke bawah lagi.

“Plop”

Aku merasakan ketenangan walau awalnya masih canggung. Sebuah perasaan yang tak bisa tergambarkan ku rasakan menjalar diseluruh tubuhku. Rasa ini hampir sama dengan rasa yang kemaren ketika aku masih bersama Wahyu dan Angga, tapi ini lebih dasyat lagi.
Hangat, lembut, basah, geli dan bertenaga.

Aku perlahan terbawa oleh permainan Udin. Aku merasa pergi ke tempat yang jauh dan sangat indah. Sebuah perasaan tenang yang tak bisa tergambar tapi sangat jelas ku rasakan, aku bahagia.

“Udah om.” Kata Udin memecah lamunanku.

“Eh... cepat amat?” tanyaku.

“Jadi mau berapa lama om?” tanya Udin untuk membatasi kontrak itu.

“10 kali.” Jawabku.

“Lamanya harus sama seperti ini juga ya!” pintaku.

“Tadi kan udah 1 om, jadi tinggal 9 ya.” Udin memperjelas.

“Iya.” Jawabku lagi.

Udin pun mulai melakukan aksinya lagi sama seperti yang dilakukannya sebelumnya. Kembali aku merasakan getaran yang ku rasakan sebelumnya kembali. Cukup lama juga Udin melakukan aksinya, sekitar 30 menit. Pikiranku seolah-olah menerawang ke langit bebas, karena belum pernah kurasakan hal yang yang tidak bisa ku jelaskan ini.

“Udah selesai om.” Kembali Udin menghentikan aksinya.

“Loh... kok dah selesai?” tanyaku.

“Kan udah selesai 10 kali om.” Jawab Udin dengan senyum penuh makna.

“Lagi lah!” bujukku.

“Boleh, tapi nanti kasi duitnya juga dobel.” Pintanya.

Aku terdiam, saat itu aku tidak memegang uang kecuali yang dimintanya saja. Aku harus putar otak untuk membujuknya, habis gimana lagi dah tanggung nie dah setengah jalan.

“Kalau yang satu lagi om kasi besok gimana?” aku berusaha nego.

“Ah om... aku maunya sekarang. Kalau mau kasi besok, ya besok aja mainnya lagi.” Jawab Udin menolah negoku.

Waduh... gimana nie? Kalau ngocok sendiri jadi udah enggak enak lagi nie, tapi aku dah nggak ada duit lagi. Apa yang harus ku lakukan aku tidak mengerti lagi.

****

Berfikir sejenak untuk menerima tawarannya, tapi aku sudah kehabisan duit nie. Apa yang harus ku lakukan untuk menyambung nafas ini yang tinggal setengah lagi, sudah tanggung untuk berhenti di sini. Aku harus putar otak untuk mendapatkan sensasi ini lagi.

“Gimana om?” tanya Udin.

“Gimana kalau besok aja om kasi tambahannya.” jawabku.

“Kalau besok, ya besok aja kita lanjut.” dia menjawab begitu dengan senyuman penuh arti.

“Gini aja om, aku ada syarat lagi.” ketus Udin.

Udin memberikan sebuah persyaratan baru yang tak pernah terpikirkan olehku. Dan hal ini tak pernah jug aku lakukan dalam hidupku. Sesuatu yang membuatku bimbang dan ragu.

Kami masih terduduk di atas dipan kayu. Si otong milikku belum lagi kusarungkan karena aku berharap ada sesuatu keajaiban agar dia mendapatkan sangkarnya yang baru, yang lebih hangat dan lembut. Tapi persyaratan baru Udin membuatku tidak habis pikir.

Kenapa bocah seperti dia ini sudah berfikiran seperti itu?

Entahlah aku tidak bisa mengerti, tapi aku sudah tidak tahan lagi. Permainan sudah dimulai dan aku masih belum mau mengakhirinya. Aku akan melanjutkan persyaratannya.

Sebuah persyaratan baru.

Persyaratannya adalah...

“Aku mau emut titit om kalau om mau emut titit aku juga” dengan enteng Udin mengatakannya kepadaku.

Aku tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginannya itu.

“Iya deh.” Jawabku.

Udin langsung menyambarsi otong milikku dan juga berusaha menurunkan celananya kembali.

Di atas dipan kayu aku berbaring terbalik bersama Udin. Dia sepertinya sedang asik mengemut si otong milikku sedangkan aku masih ragu untuk mengemut si otong miliknya. Tapi kalau tidak ku lakukan, aku telah melakukan sesuatu yang tidak adil.

Titit kecil dan imut itu sekarang sudah berada di hadapanku, sedangkan si otong milikku sudah habis dilahap si Udin. Dengan memejamkan mata aku memasukkan titit udin ke mulutku dan mulai mengemutnya. Rasanya tidak buruk juga. Walau tidak ada rasa manis di sana, tapi entah mengapa aku menyukainya. Aku pun mulai terbawa permainan si Udin yang awalnya akulah yang memulainya. Tak ku sadari bahwasannya inilah yang ku ketahui pda akhirnya adalah posisi enam sembilan. Sekali lagi aku merasakan rasa tenang itu, sangat tenang.

Cukup lama kami melakukan hal itu, sampai aku merasakan ada sesuatu yang ingin keluar lagi untuk yang kedua kalinya. Aku mencabut si otongku dari tempat persemayaman barunya dan melepaskannya dari kehangatan mulut Udin. Akhirnya keluarlah partikel bahagia itu belambung tinggi lagi, masih cukup banyak dan kini aku benar-benar lelah.

****

Akhir dari semua kejadian ini ku berikan si Udin duit yang ku janjikan tadi dan dia membalas dengan senyumnya saja penuh arti. Sebelumnya aku sudah menaikkan celanaku kembali dan menyarungkan si otong pada tempatnya. Hari ini si otongku sudah bekerja sangat keras, biarlah dia beristirahat sejenak. Hari ini aku sangat bahagia, sangat bahagia.

****


“Dunia ini terkadang menyimpan banyak rahasia yang tak terduga-duga. Setiap pilihan yang berbeda maka kejutanya akan berbeda pula. Ada segudang cerita di dalm sebuah perjalanan panjang. Dan inilah kisah kakak itu. Kisah kakak bermulai di sini.”

Jumat, 18 Desember 2015

SEBUAH SYARAT (Chapter 10)

“Pangeran kecil kakak si Udin sebentar lagi di sunat dan hari yang sebelumnya juga sangat menyenangkan bersamanya saat berdua bersamanya di kebun abi. Setelahnya juga kakak melakukan hal yang sama dengan si Erlang di lokasi yang sama dan trik yang sama. Wah... kakak benar-benar sudah menggarap dua kakak beradik itu. Hihihihihihi......”

Sunat ya...

Sudah berani nggak mereka ya?

Kita lihat aja ya!

Aku sudah tidak sabar lihat prosesi sunatan mereka.


****

Di malam yang rame dan riuh ini Udin dan Erlang mau di sunat. Kira-kira siapa yang bakal disunat dahulu ya?

Melihat mereka saling dorong dan mempersilahkan satu sama lain, membuat yang hadir dalam prosesi sunat itu menjadi ceria. Aku pun ikut tersenyum melihat tingkah mereka.

Mereka memeng masih bocah ya?

Sepertinya mereka masih agak merasa takut, walau akhirnya si Udin sebagai seorang kakak menyerahkan diri duluan untuk di sunat.

Terlihat wajah yang waswas bercampur dengan gelisah terpancar dari matanya. Aku tahu kalau si Udin sebenarnya masih takut, tapi dia sebagai seorang kakak dia harus memberikan contoh teladan bagi adiknya. Seolah-olah dia ingin berkata “Ini, aku berani. Jangan takut dek, santai aja.” Begitulah kira-kira.

Dengan gagah berani si Udin menanggalkan celananya di hadapan mantri sunat. Terlihat otong milik Udin yang tak asing lagi bagiku. Masih lucu seperti sebelumnya, tapi mulai dari sekarang akan berubah bentuk menjadi bentuk kedewasaan.

Selanjutnya prosesi sunat pun dilaksanakan dan si Udin melihat sendiri bagai mana prosesi itu berlangsung. Dengan alunan musik dangdut di luar rumah membuat suasana menjadi sedikit heboh. Maklumlah, orang tua si Udin sedang mengadakan hajatan kecil dan mengundang warga-warga desa untuk ikut berhadir dan memeriahkan hari bahagia ini. Tak lama setelahnya prosesi sunatan itu pun selesai. Sekarang giliran si Erlang dan sepertinya dia masih takut tapi dia juga memberanikan diri sampai selesai prosesi sunatan itu tapi pada akhirnya dia muntah dan wajahnya pucat, mungkin karena takut.
****
Waktu berjalan dengan cepatnya dan si Udin pun telah sembuh dari bekas sunatnya. Udin dan Erlang sudah bisa main, naik sepeda dan yang lain-lain seperti anak yang lainnya. Mereka adalah dua kakak beradik yang menarik untuk diperhatikan.

Di waktu sore hari aku sedang berada di gudang yang bertepatan di samping rumahku. Ruangan yang tak begitu lebar yang penuh dengan peralatan yang tidak terpakai tapi mungkin sayang abi untuk membuangnya. Ruangan itu tidak begitu luas, sekitar 2x3 meter mungkin dan terdapat dipan kecil di dalamnya yang terbuat dari kayu. Abi juga sering tiduran di situ. Ada seseorang bocah yang menghampiriku di sana dan wajh bocah itu tak asing lagi di mataku.
Udin...

****

“Om... minta duit om!” si Udin menyamperiku dan langsung to the point.
Aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Sebenarnya ini adalah sesuatu yang biasa bagi anak-anak di kampungku, yaitu minta duit kepadaku. Aku biasa memberikan duit sekedarnya untuk jajan mereka, karena aku sangat sayang dengan mereka dan aku juga memanjakan mereka. Tidak ada anak atau bocah di kampungku yang tidak ku kenal namanya dan tidak akrab samaku, semuanya kenal dan sangat akrab denganku. Bocah mana sih yang tidak mau disayang dan dimanja? Pasti semua bocah suka diperlakukan seperti itu. Begitu juga dengan si Udin.

“Eh... boleh. Tapi ada syaratnya kalau mau minta duit.” Candaku iseng.

“Apa?” tanya Udin.

Apa ya yang cocok sebagai syarat si Udin kalau dia minta duit nie?

Binggo.... dapat ide nie.

Sekarang kan si Udin sudah sunat dan dia sudah memasuki dan mau diakui sebagai orang yang dewasa, jadi persyaratannya adalah apakah dia benar-benar sudah dewasa apa belum. Hihihihi...
Bagaimana cara ngetesnya ya?

“Udin sudah bisa keluar mani apa belum? Kalau sudah om kasi duit.” Begitu persyaratanku.

“Beneran om?” tanyanya lagi.

“Iya.” Jawabku.

Aku ajak dia masuk ke dalam gudang tempat penyimpanan barang yang tadi sudah ku jelaskan terus ku tutup pintunya.

Next...

Perlahan Udin membuka resleting celananya. Dan merusahan menglurkan otongnya dengan bentuk yang berbeda dengan yang sebelumnya ku lihat di kebun abi. Ukurannya juga agak bertambah perkiraan aku. Dan Udin memulai aksinya, mengocok-ngocok tititnya.

Aku hanya bisa melihatnya melakukan itu. Udin duduk di kananku di dipan dalam gudang. Lumayang lama dia melakukan aksinya itu sampai akhirnya dia lelah melakukannya dan dia bingung harus buat apa. Kalau dia berhenti sekarang dan menyerah tandanya dia tidak akan dapat apa-apa dari yang dimintanya tadi, tapi kalau dilanjutkan juga dia juga sepertinya nggak yakin kau bisa mengeluarkan sesuatu yang ku pinta tadi. Sungguh pertaruhan yang tidak seimbang menurutku.
Dengan sedikit frustasi ku katakan kepada Udin.

“Sini biar om yang bantu kocokin.” Tintaku sambil menyinggirkan tangannya dari otongnya.

Aku langsung mengkocok si otong milik si Udin. Dia memperhatikan sambil mencoba menikmati permainan itu, atau dia belum bisa merasakan enaknya dikocokin?
Apa pun itu aku kerjakan sesuatu yang aku suka.

Perlahan aku mengocok otong si Udin dan lumayang terasa pegel juga nie tangan tanpa ada tanda-tanda dia mau keluar. Dan aku juga bosan melakukan itu dan aku juga akhirnya ngocok juga di sampingnya tapi Udin yang kocok si Otongku dan bergantian aku juga kokcok otongku akhirnya. Cukup lama dan aku sudah tidak bisa menahan lagi sesuatu yang hendak keluar dari dalam tubuhku. Suatu yang nikmat yang terpancar kencang bebas begitu saja ke udar. Cairan putih kental telah mengakhiri permainanku.

Time is over...

Permainan selesai dan aku sarungkan kebali si otong kedalam sarangnya. Sedikit kecewa dan kecewa lebih besar dimiliki si Udin karena aku bakal tidak penuhi permintaannya. Kalau sesuai perjanjin sih seperti itu. Kasihanya? Aku dah capek dan ingin meninggalkan tempat itu, tinggalkan si Udin dengan kekecewaannya.

****

“Haduh... aku jahat banget ya...”

“Betapa kejamnya dunia ini.”

Apakah usaha Udin yang barusan menjadi sia-sia? Apa ada suatu keajaiban atau trik untuk ini? Yang pastinya Udin sangat kecewa. Hahahaha...

****

“Om... aku mau buat persyaratan baru.” Ucapan itu terlontar begitu saja dari mulut Udin.

Apaan?” jawabku.

Aku mau emut titit om kalau aku dikasi duit nanti.” Udin mempertegas persyaratan barunya.

What? Jantung ini berdebar rasanya mendengar perjanjian baru yang dibuatnya. Terima nggak ya?

****


“Seorang pemenang itu adalah seorang yang tidak putus asa dan terus mencoba. Kalau mengalami kegagalan, ya... tinggal coba lagi sampai mendapat hasil yang diinginkan. Intinya tidak menyerah dengan keadaan ini, maka kita akan dapatkan yang kita inginkan.”

Minggu, 13 Desember 2015

PANGERAN KECIL (Chapter 9)

Sepertinya kejadian itu makin sering saja terjadi dalam hidupku, aku, Angga dan Wahyu. Aku tahu semua ini sudah salah dan nggak wajar, tapi bagaimana lagi kalau aku sudah tidak bisa menahan gejolak ini. Aku sudah hilang arah.

Sekali...

Dua kali...

Tiga kali...

Dan setrusnya...


Wah... hidupku ini semakin kacau saja, apa lagi semenjak dia juga masuk kedalam hidupku ini.

Dia...

Siapakah dia ya?

Dia adalah orang yang paling lama dan paling dekat denganku apa lagi dalam masalah ini.

“Udin.”

****

Masih tergambar jelas dalam kepala ini awal kali aku memulai kisah ini bersamanya. Walau aku sudah mengenalnya jejak kelas 2 SD, tapi kisah ini bermula saat aku duduk kelas 2 SMP.

“Fahrudin... engkau suka dan dukaku. Maafkan aku.”

****

Jauh sebelum kisah ini aku memang biasa akrab dengan anak-anak. Setiap sepulang sekolah SD aku biasanya ada membelikan sesuatu untuk anak-anak tetanggaku yang  kebanyakan umuran mereka di bawah aku semua walau ada juga yang di atasku meski tak banyak. Aku suka memberi mereka permen yang ku beli di sekolah atau pun yang ku ambil saja dari kios rumahku. Aku sayang mereka.

Udin, Erlang, Anggi, Awi, Alby, Wahyu, Angga, Putra... aku sangat sayang mereka semua.

Menghabiskan uang jajanku untuk memberikan mereka es krim, permen atau snak lainnya sudah biasa menurutku. Mereka adalah kebanggaanku walau pada akhirnya aku juga yang merusak mereka semua.

Maafkan aku...

****

Beberapa hari lagi si Udin mau di sunat, sekarang dia sudah kelas 6 SD. Waktu itu aku membawa dia berkeliling kampung, kami berkeliling menyusuri hamparan hijau sawah. Cuaca yang terik ditambah dengan terpaan angin yang lembut menerpa wajah ini. Jalan-jalan sore sama si Udin dengan mengendarai sepeda motor Vega ZR punya kakak laki-laki aku. Sangat menyenangkan dan mengasyikan.

Singgah di rumah bibik dan parkir sepeda motor dan pergi ke kubun abi bersama si Udin. Kebun abi di tengah persawahan, banyak pepohonan yang tumbuh dan ditanam di sana seperti pohon rambutan, mangga, pisang dan lainnya. Walaupun tidak lagi musim apa pun di kebun, aku tetap membawa Udin ke kebun. Ada sesuatu hal yang ingin ku perbuat di sana, aku dan Udin.

****

Ada satu trik yang ku gunakan untuk menjerat si Udin kali ini. Aku pura-pura pipis di sampinya yang sebenarnya ya pipis beneran sih. Dia juga pipis tepat di sebelah aku pipis, tapi sambil lirik si otong aku. Sepertinya dia sangat tertarik memperhatikan si otong aku. Matanya seperti tidak berkedip memperhatikan si otong aku.

Setelah selesai pipis aku kembali menyarungkan si otongku. Kita cerita ini itu dan akhirnya sampai jug ake materi yang dinanti. Materi sebentar lagi dia sunat. Apa sudah berani?

Udin dengan percaya diri dia udah siap disunat. Aku cuma kasi penjelasan aja tentang ini itu seputar sunatan. Akhirnya aku pinta dia untuk perlihatkan tititnya dan dia pun keluarkan tititnya.

“Wah... titit Udin yang selama ini kakak belum pernah liat. Sekarang jadi mainan kakak nie, masih belum disunat nie. Kakak rada aneh ya terobsesi sama titit. Hehehe....”

Pegang-pegang titit Udin setelah dia keluarkan dari celananya. Aku menjelaskan ini itu, bagianmana nanti yang dipotong. Pokoknya puas pegang-pegang titit Udin secara langsung. Selanjutnya aku biarkan si Udin liat si otongku dengan jelas dan boleh pegang juga sama seperti dia. Terus aku kasi dia untuk lihat yang mana itu air mani dengan bantuan tangannya pegang si otong.

Wih... melelahkan.

Tapi bukan lelah karena bis kerja berat. Tapi ini lelah karena sesuatu perkara yang besar.

“Aku sayang kamu Udin.” Itu yang terbersit dalam hatiku.

Setelah itu beres-beres dan pulang.

Jalan-jalan sore yang menyenangkan bersama Udin walau nggak ada juga sesuatu yang dibawa dari kebun abi. Tapi aku senang banget karena aku bawa kebahagiaan.

****

“Hati yang kotor mendorong otak ini untuk berbuat kriminal. Selalu ada saja celah dan jalan untuk otak ini menghabisi mangsanya. Apabila hati ini kotor, maka kotorlah perbuatannya.”

Rabu, 09 Desember 2015

PENDEKAR TIGA PEDANG (Chapter 8)

Detik berganti dengan menit dan menit berganti dengan jam. Minggu siang ini berganti menjadi Minggu sore, sore yang ku nanti-nanti yang penuh dengan pengharapan. Cuaca begitu cerahnya dan angin sore pun berhembus lembut menerpa pepohonan di belakang rumahku. Aku siap dengan rencanaku dan aku sudah menjadi raptor yang sudah hilang akal sehatku.
“Maaf kan om... Angga... Wahyu...”




















****
“Yap... sudah saatnya.”
Sore yang tenang.
“Angga.... Wahyu...” panggilku.
“Ya om...” jawab mereka.
“Kesana yuk.” Pintaku sambil mengajak mereka ke pepohonan belakang rumahku.
Suasana belakang rumahku itu lumayan enak dipandang mata. Dengan hamparan padi yang meluas dan hijau dengan sinar matahari sore yang cerah. Angin sore itu sangatlah sejuk yang menerpa wajahku yang sudah merah padam. Sepetak kebun kakao (coklat) bagaikan hutan yang menghalangi pandangan dari badan jalan ke arah rumahku. Cukup rimbun untuk menghalangi pandangan. Beberapa pobon kelapa dan pohon pisang juga membuat rimbun suasana di belakang rumah yang agak terpisah 30 meter dari rumahku.
“Bekal jajanan sudah siap, dan rencana jahat sudah dipikirkan. Waduh... kakak benar benar dah jadi predator nie. Dah jadi raptor. Hihihi... aduh... parah nie kakak.”
****
Di belakang rumah itu kami hanya bertiga saja tanpa ada manusia yang lain. Sambil ngemil jajan yang ku bawa tadi kami bercerita bercanda bersama di pinggir sawah. Mereka tidak ada curiga bahwa bakal ada sesuatu yang mengancam mereka. Akal sehat ini sudah enggak jalan dan logika juga tidak main lagi yang ada hanya nafsu masa puber.
“Argh... kakak dah parah! Gah gila tapi mau bagai mana lagi. Dah kebelet nie.”
“Maafkan om Wahyu... Angga...”
****
Sambil berbicara dan ngemil, panjang lebar cerita ini ku bawa ke mana-mana dan akhirnya sampai juga pada topik utama.
Eh, kalian kapan sunatnya?” tanyaku.
“Nggak tahu lah om.” Jawab mereka.
“Nanti lah om kalau udah besar.” Jawab salah satu di antara mereka.
“Enak loh nanti kalau sunat.” Ujarku.
“Ah, sakit lah om.” Jawab seorang dari mereka.
“Enggak, kan di bius. Nggak sakit lagi kok.” Timpalku.
“Nanti enak loh kalau udah disunat.” Tambahku lagi.
“Enak gimana om?” tanya salah satu dari mereka berdua.
“Nanti titit kalian jadi besar kayak gini.” Aku berdiri di hdapan mereka berdua yang sedang terduduk pada salah satu batang pohon di belakang rumahku. Aku memperlihatkan tonjolan tititku di hadapan mereka yang masih terbungkus celana jinsku.
“Mau pegang?” tanyaku ke mereka berdua.
Aku membimbing kedua tangan mereka untuk memencet-mencet tititku dari luar celanaku.
“Keras om.” Kata salah seorang mereka.
“Mau liat?” tanyaku.
“Mau om.” Jawab mereka penasaran dan kegirangan.
Jantungku berdegup kencang. Kenapa? Karena ini baru pertama kali tititku itu ku pulikasikan setelah aku sunat (khitan) yang setelah dari itu belum ada orang yang lihat tititku lagi. Aku masih canggung sebenarnya untuk menampilan tititku di hadapan mereka. Tapi mau bagai mana lagi, aku sudah terlanjur nafsu. Gilanya aku waktu itu. Hadeh...
Perlahan aku menurunkan resletingku. Aku melonggarkan ikat pinggangku dan sedikit memelorotkan celanaku. Maka tampaklah celana dalamku yang tampak jelas tonjolan yang keras di sana.
“Siapakah yang bersembunyi di sana?”
“Yap... si otong yang lagi malu malu ada di sana.”
Ku lihat mata merka seriu memandangi tonjolan itu dan menanti-nanti sesuatu yang sedang bersembunyi di balik celana dalam yang waktu itu aku lupa warnanya. Aku ingin seklai menurunkan celana dalamku juga di hadapan mereka tapi aku masih sangat malu dan canggung. Mereka masih menanti langkahku yang berikutnya. Oh.. no....
****
“Angga... coba kamu keluarin titit om nie.” Aku memerintahkan si Angga untuk mengeluarkan si otong dari tempat persembunyiannya.
Tak membutuhkan perintah dua kali si Angga langsung menerkam si otong dan segera mengelurkannya dengan cara sedikit memaksa.
“Au...” teriakku kecil saat si Angga menarik kasar si otong keluar karena ada beberapa rambut si otong yangtak sengaja ikut tertarik.
Mereka seolah-olah takjub melihat si otong. Mungkin ini kali pertama mereka melihat titit seorang remaja ABG seperti aku.
“Hadeh... aku nggak bisa kuat kalau teru-terus begini.”
Untuk beberapa saat mereka memandangi si otong dengan serius dan seksama. Dengan heran-heran dan takjub itu karena ukuran titit aku itu beda jauh dari ukuran yang mereka miliki. Aku memberi penjelasan tentang apa itu si otong. Bla... bla... bala... bla... dan akhirnya pelajaran edukasi seks pun dimulai. Ak menerangakan detai tentang alat reproduksi manusia, terutama laki-laki ini.
“Aku kan laki-laki, jadi yang ku jelaskan masalah lagi-laki aja.”
Aku menjelaskan bahwa yang disebut air mani yang merupakan sumber awal mula kehidupan seorang anak manusia. Itulah yang di miliki setiap ayah mereka yang akhirnya menghasilkan mereka. Mereka jadi penasaran tentang air mani itu. Mereka masih kelihatan bingung dengan penjelasan itu karena tidak memiliki contoh.
“Apa dua bocah ini perlu kakak kasi contoh ya?”
“Haduh... kakak akan senang hati memberikan contoh langsung kepada mereka nie.”
“Air mani... bagaimana cara mengeluarkannya ya?”
“Langsung aja ke praktek yuk! Jangan banyak bertanya lagi.”
****
Aku tutun kedua tangan mereka untuk mnyentuh si otong dan menggenggamnya. Si Angga sangat geram sekali menggenggam titit aku. Aku mulai mengocok titit aku dengan tangan mereka yang mungil dan halus secara bergantian. Jelas aja tangan mereka itu mungil dan halus karena mereka pada saat itu baru berusia 6 atau 7 tahun.
“Wah... rasanya beda dengan ngocok sendiri. Sensasi tangan mereka yang lembut mebuat kakak bisa terbang tinggi ke langit yang tinggi.”
“Masih lama lagi om?” tanya salah satu di antara mereka.
“Masih.” Jawabku.
Mereka masih menunggu yang namanya air mani yang sumber untuk menciptakan mereka dahulu. Bagaimana rupa air mani yang juga di miliki oleh ayah mereka.
“Jadi kapan keluarnya om?” tanya salah satu di antara mereka.
“Wah... kalau kayak gini lama nie bakalan.” Jawabku lagi.
“Cepatin lah om... aku mau lihat!” pinta seorang dari mereka.
“Aduh nggak bisa dicepat-cepatin nie.” Jawabku.
“Mau cepat keluar?” tanyaku .
“Iya om.”jawab mereka.
“Kalau kalian mau emut titit om, mungkin akan cepat keluar.”
Aku memberikan pilihan lain untuk permintaan mereka. Sore yang begitu indah di hari Minggu ini. Ini adalah ahri yang sangat bersejarah dalam hidupku dan aku tidak akanmelupakan hari ini. Di mana semua itu bermulai di sini.
****
“Jangan mulai sesuatu yang kamu tidak bisa akhiri.”

Minggu, 06 Desember 2015

RAPTOR (Chapter 7)

Hidup ini menjadi indah dan tak ada yang menjadi beban pikiran kalau kita bisa bebaskan diri dan hidup ini, dan melakukan apa yang disukai sesuka hati ini. Aku adalah angin yang terbang bebas dan bergerak sesuka hatiku. Kini aku telah melampaui batas dinding yang mengekangku, aku hidup bagaikan angin.
****
Hidup dengan di kelilingi bocah dan bocah-bocah di kampung sangat suka bermain denganku. Sudah menjadi rutinitas aku bermain bersama bocah-bocah di kampung. Dan bagi orang tua mereka hal itu tidaklah masalah, karena mereka mengetahui kalau aku itu sangat menyayangi anak-anak kecil. Tidak ada seorang pun bocah di kampung aku yang tidak kenala dengan aku dan tidak ada satu bocah pun di kampung kecuali aku mengetahui namanya. Hidup dan tumbuh berkembang bersama bocah, aku rela menghabiskan uang jajanku demi membahagiakan bocah-bocah itu. Aku menyukai mereka semua.
Tapi...
Sebenarnya ada bahaya yang mengincar mereka.
Ada sesuatu yang hidup di dalam diri ini yang mengincar mereka.
Dia tumbuh bersamaku juga dan bersama bocah-bocah itu juga.
Dia adalah...
Raptor....

Yang siap memangsa bocah-bocah itu.
“Wah... kakak kayakny aingin berubah menjadi Raptor nie yang sepertinya akan membahayakan bocah-bocah di kampung nie.”
****
Puncak... telah sampai puncaknya nafsu yang tidak terarahkan ini. Tanpa pengetahuan dan pengawasan dari orang dewasa lainnya karena semua keluargaku sibuk-sibuk sendiri dengan kegiatan mereka masing-masing. Dengan leluasa aku bermain bersama-anak itu yang terlihat tidak membahayakan tapi sebenarnya keberadaanku sangat mengancam mereka.
Dua bocah yang sering main kerumahku adalah Angga dan Wahyu. Mereka sering bermain kerumahku karena ibu Angga bekerja untuk bantu-bantu umi yang di dapur untuk dagangan umi. Umi biasanya jualan sarapan pagi, jual nasi dan sayur kalau siang dan jualan bandrek (minuman jahe tradisional) ketika malam. Wahyu adal sepupu Angga yang biasa mereka berdua menghabiskan waktu mereka di rumahku. Keseharian mereka hanya nonton TV aja di rumahku biar tidak mengganggu ibu Angga di dapur.
“Biasanya sih kakak dekati mereka dengan memberikan jajan aja kepada mereka. Mereka kalau di suruh apa aja nurut asal perut mereka kenyang maka semua tak masalah. Hadeh... kasihan mereka ini tak tahu apa-apa. Karena mereka akan kakak mangsa sebentar lagi.”
****
Kalau nonton TV di rumahku biasanya aku yang selalu menemani mereka, karena yang suka siaran anak-anak kan juga aku. Aku merasa dekat dengan mereka karena memiliki kesamaan yaitu sama-sama suka lihat film anak-anak seperti film kartun anak, power ranggers, satria baja hitam dan yang lainnya. Biasanya mereka kalau nonton TV dekat aku dan ku pangku-pangku dan mulut mereka ku sumpeli jajanan yang banyak. Dan kegiatan ini biasanya hanya terjadi di hari Minggu saja, karena libur sekolah kan hari Minggu.
****
“Setiap kali kakak dekat dengan kedua bocah ini, pikiran kakak menerawang jauh. Hati ini pun semakin gelap kalau sudah melihat mereka berdua. Tersusun rencana-rencana jahat yang bakal ditrapkan kepada mereka. Ih... serem nie kakak... lagi mode Raptor.”
Dengan rencana yang telah tersusun dengan rapi dan waktu yang telah di tetapkan makan rencana itu akan dilaksanakan. Perlahan aku mendekati kedua domba kecil itu yang sangat polos dan lugunya di dedepan TV yang sedang menyala. Dengan mengiming imingi jajan saja sambil mematikan TV yang sedang mereka tonton dari tadi paginya, maka rencana ini pun dimulai. Seperti biasa kalau mereka tidak ada tontonan maka mereka akan pergi keluar untuk main dan di saat itulah mereka aku ajak main di luar. Tak perlu main jauh-jauh, cuma sekitar rumah saja.
Berbekal jajanan dan cerita-cerita dan pengalaman bersama bocah yang cukup lama maka rencana itu pun dilaksanakan. Aku sudah siap untuk memulai rencana jahat ini. Rencana yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya, rencana yang memulai dunia baruku di dunia kelam ini.
“Waktu itu kakak masih kelas VIII SMP dan Angga dan Wahyu barukelas I SD. Sungguh permainan yang tidak imbang ya? Kakak memang jahat ya... tapi mau bagai mana lagi, sudah tidak tahan nie. Mereka memanggil aku dengan sebutan om. Om yang jahat sama bocah ya kakak ini ya? Maaf ya... maaf kan kakak untuk yang sudah berlalu. Maaf. Maafkan om, Angga... Wahyu...”
****

“Bila kejenuhan yang semakin memuncak dan tak ada solusi yang tepat di dapatkan, maka akan ada kehancuran yang akan terjadi tanpa ada seorang yang dapat mengarahkan dan membimbing. Anak-anak adalah makhluk yang rapuh dan target empuk untuk om-om predator yang siap siaga memangsa bocah kapan pun.”