Kini kau telah
mendapatkan tiga bocah yang selalu menemani aku ketika aku lagi ingin. Walaupun
nafsu ini bebas bersama mereka aku tetaplah merasa kesepian dan kekosongan di
hatiku ini. Entah mengapa aku masih merasa ada yang kurang dalam hidupku. Aku masih
saja tidak paham.
Dengan bujuk
rayuku kepada dua bocah pertamaku Wahyu dan Angga aku melepaskan kegelisahan
hatiku, mereka temani hariku. Entah mengapa, aku hanya melihat mereka hanyalah
mesin pemuas nafsuku saja. Walau aku suka bermain bersama mereka dan anak-anak
lainnya yang seumuran dengan mereka dan selalu baik terhadap mereka, aku hanya
sekedar sayang yang normal saja dan itu tidaklah lebih.
Hari-hariku ku
habiskan di belakang rumah yang ditemani sembunnya sawah dan pepohoan kakau
yang lebat bersama dua bocah, Wahyu dan Angga. Mereka tetap tenang saja
bersamaku dan tidak pernah berbuat macam-macam. Asal perut mereka kenyang dan
hati mereka senang, mereka akan menuruti perintahku, itulah mereka.
****
Di lain sisi
kehidupanku, aku hanya seorang anak biasa. Biasa di bully di sekolah, biasa
dimarahi di rumah, biasa tidak memiliki teman. Semua itu menjadi hal yang biasa
dalam hidupku. Di rumah aku hanya melihat teman-teman seumuranku yang sedang
asiknya bermain-main di halaman depan rumahku, hampir setiap sore mereka
bermain bola kaki di situ. Aku hanya bisa memandangi teman-teman sekampungku
yang bahkan aku hampir tak pernah bermain dengan mereka. Aku hanya seorang anak
biasa.
Bagi orang-orang
aku hanya ini adalah anak culun dan penurut, bagi keluargaku aku adalah seekor
kucing hitam yang harus diawasi, tapi sebenarnya aku adalah predator. Raptor si
predator.
****
Hari ini aku
sedang berada di sekolahku melakukan rutinitasku seperti biasa. Hamdani selalu
setia menemani hariku di sekolah. Aku menjalani hariku yang biasa di sekolah
bersama Hamdani teman akrabku. Kalau di rental playstation Hamdani Kecil juga
selalu setia menemaniku di sana. Di kampung tetap saja aku melihat dua bocah
yang selalu bersama dan selalu berkeliaran di pekarangan rumahku, Wahyu dan
Angga. Hidupku terasa kosong.
Abi hampir tiap
hari memarahiku dan Umi hampir tiap hari menasehatiku. Kedua kakak laki-lakiku
juga tak mau kalah untuk memarahiku. Aku merasa hilang tak bermakna di rumahku
sendiri. Pekerjaan abi tidak ada yang mau ku bantu karena setiap apa yang ku
lakukan untuknya tidak pernah dihargainya, semua salah dan tidak layak disebut
pekerjaan. Itu sebabnya aku tidak membantu abi. Jadi aku merasa tidak berhak
menuntut apa pun dari abi, aku di rumah hanya numpang tinggal dan makan saja,
kerja pun yang sewajarnya aja di rumah.
****
Hampi setiap
malam aku keluar rumah untuk bermain playstation, entah itu di rental
playstation langgananku yaitu rumah Hamdani Kecil atau di tempat yang lain yang
tidak begitu jauh juga dari rumahku. aku merasakan kekosongan hati yang teramat
dalam di dalam hatiku, aku telah kehilangan kehangatan cinta dari keluargaku. Inilah
harga yang harus ku bayar untuk kebebasanku. Bukannya aku tidak mau dapat cinta
kasih dari mereka tapi karena aku tak bisa menjadi anak yang baik di mata
mereka, aku tidak bisa mengikuti semua aturan yang ada di rumah.
Walau terkadang
aku terlihat bahagia dan selalu memasang wajah senyum, bermain bersama teman
sekolahku, bermain bersama Hamdani Kecil dan Hermawan temannya, juga bersama
Wahyu dan Angga di kampung, aku tetap merasakan ada yang kurang. Mereka semua
tidaklah bisa melengkapi hidupku, walau mereka semua dapat menggembirakan aku.
****
Waktu sudah
menunjukkan jam 23.00 wib. Segera aku beranjak dari rental playstation menuju
rumah. Tak biasanya juga aku itu pulang sampai selarut ini. Mungkin bagi
sebagian temanku jam segini masih terlalu cepat untuk pulang tapi di keluargaku
yang supersibuk, mereka mematok jam segini itu sudah sangat lewat batas karena
mereka mau istirahat untuk aktifias esok hari.
Berjalan sendiri
di kesunyian malam dengan hati yang hampa. Walau sesaat aku merasa bahagia
ketiaka sedang main playstation, tapi aku merasakan kehampaan yang
berkepanjangan setelahnya. Semakin sering aku meninggalkan rumah untuk main
playstation, semakin jauh jarak yang ku buat dengan keluargaku.
Sesampainya aku
di depan rumahku, aku melihat suasana sudah gelap cuma lampu teras saja yang
masih hidup. Aku ketuk pintu sambil memanggil umi.
Tok Tok Tok “Umi...”
begitulah sambil berulang kali aku
mengetuk pintu sambil memanggil-manggil umi.
Biasanya umi yang
selalu setia membukakan pintuku, tapi kali ini tidak ada respon dari dalam
rumah.
“Apa mungkin semua
penghuni rumah sudah tertidur?” begitu yang ku pikirkan.
Lama aku ketok pintu
depan rumahku berharap ada yang membukakan pintu, tapi tetap saja tidak ada
yang membukakan. Malam sudah semakin larut dan aku masih saja berada di luar
rumah. Merenungi nasib di luar rumah sambil ditemani nyamuk yang banyak.
“Hah... inilah
hukuman untukku ya? Tak mengapa.” Begitu pikirku.
Lama aku
mengenang kehidupanku yang kian hari makin berantakan.
“Akankah aku
harus menunggu pagi di sini?” aku berpikir untuk menentukan pilihan.
“Dingin... malam
yang dingin dengan banyak nyamuk.”
****
“Yup... aku
putuskan untuk pergi kerumah tante.”
Biasanya aku itu
juga nginap di rumah tanteku yang sudah tua itu yang sudah ditinggal mati
suaminya. Tapi kali ini aku kan belum minta izin untuk nginap di sana dan
tanteku juga belum tahu aku akan datang.
“Tak mengapalah,
semoga tante izinkan aku nginap di rumahnya.”
Rumah tante
tidaklah jauh, hanya 200 m dari rumahku. tiap hari juga aku melewati rumanya
kalau mau main.
Ku langkahkan
kakiku ke rumah tante dan aku ketuk pintunya sambil memanggilnya.
Tok tok tok “Tante...”
begitu panggilku.
Tak berapa lama
pintu pun dibuka dan aku dipersilahkan masuk dan diperbolehkan juga menginap
malam ini di rumahnya.
****
Aku berbaring di
sebuah kamar di rumah tante, tempat biasa aku tidur ketika menginap di rumah
tante. Rumah tante memiliki 3 kamar: kamar tante, kamar anak perempuannya, dan
kamar anak laki-lakinya dan aku tidur di kamar anak laki-lakinya yang lagi
tidak ada di tempat. Wasih merenungkan hal yang sama, tentang nasibku dan
kekosongan hatiku dan tak lama setelah itu aku pun tertidur.
****
Aku ingat hari
itu adalah Minggu pagi karena tidak ada sekolah.
“Kamu tidak
pulang ke rumah? Nanti dicari abi dan umimu loh.” tanya tante.
“Iya Tan...”
jawabku.
Aku bergegas
pulang ke rumah dan mendapati umi sudah cemas melihatku, aku tidak menemukan
abi karena abi sudah pergi ke sawah.
****
“Apa yang bakal
terjadi kalau aku bertemu abi ya?” itu yang ada dalam pikiranku.
****
“Adek kakak...
seberapa pun besarnya kasih sayang dan kesenangan yang kita dapatkan di luar,
itu tidak akan bisa menggantikan kerinduan hati kita terhadap keluarga kita. Walaupun
keadaan ini semakin rumit, kakak masih berharap mendapatkan kasih sayang dari
keluarga kakak. Kakak ingin mereka yang mengisi kekosongan hati kakak dengan
kasih dan cinta mereka.”
Kekosongan hati itu akan menjelma menjadi kegelisahan...
BalasHapussetiap orang mempunyai wajah yang berbeda, termasuk perilakunya bahkan anak kembarpun tidak menjamin mempunyai perilaku yang sama, pasti ada pembedanya.
Menjustifikasi orangtua?? kasih sayang orangtua ragam bentuknya, seperti ragamnya manusia. salah satunya bersifat protectif yang berlebihan.
tetap semangat bang
Pasti...
BalasHapusTerimakasih sudah mampir.
Sip.... kapan-kapan mampir juga ke blog aku bang
BalasHapusYa... insyaallah...
BalasHapusYang ini bagus (✿ *´ `*) , Obi suka (✿ *´ `*)
BalasHapus