Kamis, 07 Januari 2016

KOSONG (Chapter 12)

Kini kau telah mendapatkan tiga bocah yang selalu menemani aku ketika aku lagi ingin. Walaupun nafsu ini bebas bersama mereka aku tetaplah merasa kesepian dan kekosongan di hatiku ini. Entah mengapa aku masih merasa ada yang kurang dalam hidupku. Aku masih saja tidak paham.

Dengan bujuk rayuku kepada dua bocah pertamaku Wahyu dan Angga aku melepaskan kegelisahan hatiku, mereka temani hariku. Entah mengapa, aku hanya melihat mereka hanyalah mesin pemuas nafsuku saja. Walau aku suka bermain bersama mereka dan anak-anak lainnya yang seumuran dengan mereka dan selalu baik terhadap mereka, aku hanya sekedar sayang yang normal saja dan itu tidaklah lebih.

Hari-hariku ku habiskan di belakang rumah yang ditemani sembunnya sawah dan pepohoan kakau yang lebat bersama dua bocah, Wahyu dan Angga. Mereka tetap tenang saja bersamaku dan tidak pernah berbuat macam-macam. Asal perut mereka kenyang dan hati mereka senang, mereka akan menuruti perintahku, itulah mereka.



****

Di lain sisi kehidupanku, aku hanya seorang anak biasa. Biasa di bully di sekolah, biasa dimarahi di rumah, biasa tidak memiliki teman. Semua itu menjadi hal yang biasa dalam hidupku. Di rumah aku hanya melihat teman-teman seumuranku yang sedang asiknya bermain-main di halaman depan rumahku, hampir setiap sore mereka bermain bola kaki di situ. Aku hanya bisa memandangi teman-teman sekampungku yang bahkan aku hampir tak pernah bermain dengan mereka. Aku hanya seorang anak biasa.

Bagi orang-orang aku hanya ini adalah anak culun dan penurut, bagi keluargaku aku adalah seekor kucing hitam yang harus diawasi, tapi sebenarnya aku adalah predator. Raptor si predator.

****

Hari ini aku sedang berada di sekolahku melakukan rutinitasku seperti biasa. Hamdani selalu setia menemani hariku di sekolah. Aku menjalani hariku yang biasa di sekolah bersama Hamdani teman akrabku. Kalau di rental playstation Hamdani Kecil juga selalu setia menemaniku di sana. Di kampung tetap saja aku melihat dua bocah yang selalu bersama dan selalu berkeliaran di pekarangan rumahku, Wahyu dan Angga. Hidupku terasa kosong.

Abi hampir tiap hari memarahiku dan Umi hampir tiap hari menasehatiku. Kedua kakak laki-lakiku juga tak mau kalah untuk memarahiku. Aku merasa hilang tak bermakna di rumahku sendiri. Pekerjaan abi tidak ada yang mau ku bantu karena setiap apa yang ku lakukan untuknya tidak pernah dihargainya, semua salah dan tidak layak disebut pekerjaan. Itu sebabnya aku tidak membantu abi. Jadi aku merasa tidak berhak menuntut apa pun dari abi, aku di rumah hanya numpang tinggal dan makan saja, kerja pun yang sewajarnya aja di rumah.

****

Hampi setiap malam aku keluar rumah untuk bermain playstation, entah itu di rental playstation langgananku yaitu rumah Hamdani Kecil atau di tempat yang lain yang tidak begitu jauh juga dari rumahku. aku merasakan kekosongan hati yang teramat dalam di dalam hatiku, aku telah kehilangan kehangatan cinta dari keluargaku. Inilah harga yang harus ku bayar untuk kebebasanku. Bukannya aku tidak mau dapat cinta kasih dari mereka tapi karena aku tak bisa menjadi anak yang baik di mata mereka, aku tidak bisa mengikuti semua aturan yang ada di rumah.

Walau terkadang aku terlihat bahagia dan selalu memasang wajah senyum, bermain bersama teman sekolahku, bermain bersama Hamdani Kecil dan Hermawan temannya, juga bersama Wahyu dan Angga di kampung, aku tetap merasakan ada yang kurang. Mereka semua tidaklah bisa melengkapi hidupku, walau mereka semua dapat menggembirakan aku.

****

Waktu sudah menunjukkan jam 23.00 wib. Segera aku beranjak dari rental playstation menuju rumah. Tak biasanya juga aku itu pulang sampai selarut ini. Mungkin bagi sebagian temanku jam segini masih terlalu cepat untuk pulang tapi di keluargaku yang supersibuk, mereka mematok jam segini itu sudah sangat lewat batas karena mereka mau istirahat untuk aktifias esok hari.

Berjalan sendiri di kesunyian malam dengan hati yang hampa. Walau sesaat aku merasa bahagia ketiaka sedang main playstation, tapi aku merasakan kehampaan yang berkepanjangan setelahnya. Semakin sering aku meninggalkan rumah untuk main playstation, semakin jauh jarak yang ku buat dengan keluargaku.

Sesampainya aku di depan rumahku, aku melihat suasana sudah gelap cuma lampu teras saja yang masih hidup. Aku ketuk pintu sambil memanggil umi.

Tok Tok Tok “Umi...” begitulah sambil berulang kali aku  mengetuk pintu sambil memanggil-manggil umi.

Biasanya umi yang selalu setia membukakan pintuku, tapi kali ini tidak ada respon dari dalam rumah.

“Apa mungkin semua penghuni rumah sudah tertidur?” begitu yang ku pikirkan.

Lama aku ketok pintu depan rumahku berharap ada yang membukakan pintu, tapi tetap saja tidak ada yang membukakan. Malam sudah semakin larut dan aku masih saja berada di luar rumah. Merenungi nasib di luar rumah sambil ditemani nyamuk yang banyak.

“Hah... inilah hukuman untukku ya? Tak mengapa.” Begitu pikirku.

Lama aku mengenang kehidupanku yang kian hari makin berantakan.

“Akankah aku harus menunggu pagi di sini?” aku berpikir untuk menentukan pilihan.

“Dingin... malam yang dingin dengan banyak nyamuk.”

****

“Yup... aku putuskan untuk pergi kerumah tante.”

Biasanya aku itu juga nginap di rumah tanteku yang sudah tua itu yang sudah ditinggal mati suaminya. Tapi kali ini aku kan belum minta izin untuk nginap di sana dan tanteku juga belum tahu aku akan datang.

“Tak mengapalah, semoga tante izinkan aku nginap di rumahnya.”

Rumah tante tidaklah jauh, hanya 200 m dari rumahku. tiap hari juga aku melewati rumanya kalau mau main.

Ku langkahkan kakiku ke rumah tante dan aku ketuk pintunya sambil memanggilnya.

Tok tok tok “Tante...” begitu panggilku.

Tak berapa lama pintu pun dibuka dan aku dipersilahkan masuk dan diperbolehkan juga menginap malam ini di rumahnya.

****

Aku berbaring di sebuah kamar di rumah tante, tempat biasa aku tidur ketika menginap di rumah tante. Rumah tante memiliki 3 kamar: kamar tante, kamar anak perempuannya, dan kamar anak laki-lakinya dan aku tidur di kamar anak laki-lakinya yang lagi tidak ada di tempat. Wasih merenungkan hal yang sama, tentang nasibku dan kekosongan hatiku dan tak lama setelah itu aku pun tertidur.

****

Aku ingat hari itu adalah Minggu pagi karena tidak ada sekolah.

“Kamu tidak pulang ke rumah? Nanti dicari abi dan umimu loh.” tanya tante.

“Iya Tan...” jawabku.

Aku bergegas pulang ke rumah dan mendapati umi sudah cemas melihatku, aku tidak menemukan abi karena abi sudah pergi ke sawah.

****

“Apa yang bakal terjadi kalau aku bertemu abi ya?” itu yang ada dalam pikiranku.

****

“Adek kakak... seberapa pun besarnya kasih sayang dan kesenangan yang kita dapatkan di luar, itu tidak akan bisa menggantikan kerinduan hati kita terhadap keluarga kita. Walaupun keadaan ini semakin rumit, kakak masih berharap mendapatkan kasih sayang dari keluarga kakak. Kakak ingin mereka yang mengisi kekosongan hati kakak dengan kasih dan cinta mereka.”

 

5 komentar:

  1. Kekosongan hati itu akan menjelma menjadi kegelisahan...
    setiap orang mempunyai wajah yang berbeda, termasuk perilakunya bahkan anak kembarpun tidak menjamin mempunyai perilaku yang sama, pasti ada pembedanya.

    Menjustifikasi orangtua?? kasih sayang orangtua ragam bentuknya, seperti ragamnya manusia. salah satunya bersifat protectif yang berlebihan.

    tetap semangat bang

    BalasHapus
  2. Pasti...
    Terimakasih sudah mampir.

    BalasHapus
  3. Sip.... kapan-kapan mampir juga ke blog aku bang

    BalasHapus
  4. Yang ini bagus (✿ *´ `*) , Obi suka (✿ *´ `*)

    BalasHapus