Seumur-umur baru kali ini aku tidak tidur di rumah tanpa izin. Walau tidur
di rumah tante, tapi tetap saja tanpa permisi. Dalam langkahku aku berpikir
“Apa yang akan terjadi denganku setelah ini?” sambil kulangkahkan kakiku menuju
rumahku yang tak jauh sih dari rumah tante.
Suasana Minggu pagi yang sejuk dengan kicauan burung murai yang sudah mulai
langka ku dengar mengiringi langkahku pulang ke rumah. Aku melewati sepetak
tanak yang ditanami pepohonan kakau oleh warga. Pepohonan kakau tersebutlah
yang memisahkan antara rumahku dan rumah tante.
“Hah... aku tidak
menyukai kalau aku harus berada di rumahku.” pikirku dalam hati.
Aku merasakan firasat yang tidak enak ketika aku sampai di depan rumahku.
Bagai mana tidak, aku yang seumur hidup tidak pernah meninggalkan rumah di
malam hari tanpa izin untuk tidak tidur di rumah. Ini pertama kali aku pulang
jam 11 malam dari bermainku. Mungkin bagi sebagian temanku itu hal wajar untuk
anak seusiaku, tapi itu tidaklah wajar di keluargaku.
Kini aku sudah duduk di kelas 2 SMP, tapi aku masih saja diperlakukan
seperti anak SD. Hidup penuh dengan aturan yang ketat dengan abi yang keras
mendidik kami. Apa pun itu, kakak laki-lakiku saja tidak pernah melanggar
peraturan yang tidak tertulis itu meski mereka sudah SMA.
****
“Sandi dari mana aja, kok nggak pulang ke rumah?” tanya Umi cemas.
“Aku dah pulang tadi malam mi, tapi pintunya aja yang nggak dibukakan.”
Jawabku
“Jadi tadi malam tidur di mana?” tanya umi lagi.
“Aku tidur di rumah tante.” jawabku lagi.
Umi sepertinya sangat cemas karena aku
malam tadi tidak nginap di rumah. Tapi apa yang harus ku lakukan kalau aku
sendiri juga tidak boleh masuk kedalam rumah pada saat itu. Sekarang aku hanya
bisa melakukan rutinitas harianku saja di rumah, apa yang bisa ku kerjakan biasanya
seperti menjaga kedai dan yang lainnya. Hari ini adalah hari Minggu pagi yang
sangat tenang dan abi sudah pergi ke sawah.
****
Berkutat dengan kegiatanku sehari-hari
yang biasa-bisa aja dan sekarang matahari sudah tinggi. Taklama kemudian abi
pun pulang dari sawah dan bergegas mandi dan setelahnya sholat dzuhur. Terlihat
dari wajahnya bahwa abi lagi capek dari sawah dan sekarang setelah melihatku
sudah pulang ke rumah dia mendekatiku. Dengan langkahnya yang cepat abi
menghampiriku.
“Plak...” terdengar suara itu keras.
Suasana rumah menjadi hening sejenak.
Umi terpaku melihat arah suara tersebut.
Waktu seolah tehenti dan menjadi hening.
Kepalaku tertunduk dan aku menjadi seperti sebuah patung yang tak bergerak di
hadapan abi. Apa ini?
Abi marah seketika itu juga, tapi aku
tidak merespon apa yang diucapkan abi. Aku hanya tertunduk seperti layaknya
seonggok jasad yang ditinggalkan ruhnya. Entah mnegapa aku merasa dunia ini
begitu hampa.
****
Umi menghampiriku setelah abi meninggalkanku. Umi cuma mau memastikan kalau
aku tidak apa-apa dengan bertanya ini itu, tapi hanya jawaban dingin yang ku
berikan. Aku masih tidak merubah posisiku saat umi datang tapi setelahnya aku
pun pergi meninggalkan umi.
Setelahnya terdengar perdebatan antara umi dan abi di kamar mereka.
Hah...
Ini semua adalah sebabku...
Sampai kapan ku harus begini?
Mungkin entahlah...
Entah sampai kapan.
****
Di sebuah bangku panjang di depan kedai aku termenung. Termenung aku
memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Baru kali ini abi memukul wajahku.
Pikiranku kembali mengingat kejadian-kejadian yang ku alami di masa yang
telah lalu. Seberapa sering abi memukulku? Tapi sepertinya tidak sering sih.
tapi kali ini emang sudah diluar dari hal yang biasa. Abi memukul wajahku.
Bukan sakit di wajahku yang ku rasakan, tapi sakit di hati ini yang telah
kering akan kasih sayang. Hatiku begitu hampa. Hidupku emang benar-benar kacau.
****
Setelah mendengar penjelasan dari umi, ternyata abi dah tahu kalau aku tadi
malam sebenarnya sudah pulang. Umi kecewa sama sikap abi karena membiarkan aku
berada di luar rumah di malam hari yang dingin. Wajar bila aku menginap di
ruamh tante kalau kejadiannya seperti itu. Umi membelaku di hadapan abi, dan
umi rela bertengkar dengan abi karena membelaku.
Hah...
Sebuah pertengkaran antara umu dan abi...
Walau cuma adu suara dan argumen saja.
Maafkan Sandi mi...
Karena Sandi umi sering bertengkar dengan abi.
****
Kehidupanku yang semakin kacau saja membuat diriku semakin gerah. Pertikaian
semakin panas karena tingkahku di rumah menyebabkan abi dan umi
tegang-teganggan urat leher, saudaraku yang lain sudah bosan juga lihat
tingkahku dan masih banyak yang lain yang menambah kejengkelan hidupku ini. Aku
sudah tidak tahan lagi.
****
Tak apa lah...
Walau badai menerpaku di rumah, aku masih bisa main ke rumah Hamdani Kecil
dan main playstation di sana atau sekedar bermain dengannya. Zain temanku di
kampung ini juga tidak diperbolehkan main denganku sama abi. Kalau yang lain
juga aku nggak begitu kenal.
Hah...
Hidupku yang penuh dengan kekecewaan.
Aku juga masih kecewa sama diriku.
Berapa banyak lagi masalah yang akan timbul karena keegoisanku semata.
Umi...
Maafkan Sandi.
****
“Apapun yang kakak lakukan benar atau salah, tapi
umi tetap tidak terima kalau kakak di sakiti walau yang pukul itu adalah abi
kakak sendiri. Begitulah pengorbanan umi dan kasih sayangnya. Kakak saja yang
sering buat masalah untuk umi. Kakak tidak akan buat hati umi terluka lagi
walau kenyataannya masih sering saja umi menangis karena kakak. Maaf umi...”