Rabu, 10 Februari 2016

MALAIKAT PENJAGA (Chapter 13)

Seumur-umur baru kali ini aku tidak tidur di rumah tanpa izin. Walau tidur di rumah tante, tapi tetap saja tanpa permisi. Dalam langkahku aku berpikir “Apa yang akan terjadi denganku setelah ini?” sambil kulangkahkan kakiku menuju rumahku yang tak jauh sih dari rumah tante.

Suasana Minggu pagi yang sejuk dengan kicauan burung murai yang sudah mulai langka ku dengar mengiringi langkahku pulang ke rumah. Aku melewati sepetak tanak yang ditanami pepohonan kakau oleh warga. Pepohonan kakau tersebutlah yang memisahkan antara rumahku dan rumah tante.

“Hah... aku tidak menyukai kalau aku harus berada di rumahku.” pikirku dalam hati.

Aku merasakan firasat yang tidak enak ketika aku sampai di depan rumahku.

Bagai mana tidak, aku yang seumur hidup tidak pernah meninggalkan rumah di malam hari tanpa izin untuk tidak tidur di rumah. Ini pertama kali aku pulang jam 11 malam dari bermainku. Mungkin bagi sebagian temanku itu hal wajar untuk anak seusiaku, tapi itu tidaklah wajar di keluargaku.

Kini aku sudah duduk di kelas 2 SMP, tapi aku masih saja diperlakukan seperti anak SD. Hidup penuh dengan aturan yang ketat dengan abi yang keras mendidik kami. Apa pun itu, kakak laki-lakiku saja tidak pernah melanggar peraturan yang tidak tertulis itu meski mereka sudah SMA.

****

“Sandi dari mana aja, kok nggak pulang ke rumah?” tanya Umi cemas.

“Aku dah pulang tadi malam mi, tapi pintunya aja yang nggak dibukakan.” Jawabku

“Jadi tadi malam tidur di mana?” tanya umi lagi.

“Aku tidur di rumah tante.” jawabku lagi.

Umi sepertinya sangat cemas karena aku malam tadi tidak nginap di rumah. Tapi apa yang harus ku lakukan kalau aku sendiri juga tidak boleh masuk kedalam rumah pada saat itu. Sekarang aku hanya bisa melakukan rutinitas harianku saja di rumah, apa yang bisa ku kerjakan biasanya seperti menjaga kedai dan yang lainnya. Hari ini adalah hari Minggu pagi yang sangat tenang dan abi sudah pergi ke sawah.

****

Berkutat dengan kegiatanku sehari-hari yang biasa-bisa aja dan sekarang matahari sudah tinggi. Taklama kemudian abi pun pulang dari sawah dan bergegas mandi dan setelahnya sholat dzuhur. Terlihat dari wajahnya bahwa abi lagi capek dari sawah dan sekarang setelah melihatku sudah pulang ke rumah dia mendekatiku. Dengan langkahnya yang cepat abi menghampiriku.

“Plak...” terdengar suara itu keras.

Suasana rumah menjadi hening sejenak.

Umi terpaku melihat arah suara tersebut.

Waktu seolah tehenti dan menjadi hening. Kepalaku tertunduk dan aku menjadi seperti sebuah patung yang tak bergerak di hadapan abi. Apa ini?

Abi marah seketika itu juga, tapi aku tidak merespon apa yang diucapkan abi. Aku hanya tertunduk seperti layaknya seonggok jasad yang ditinggalkan ruhnya. Entah mnegapa aku merasa dunia ini begitu hampa.

****

Umi menghampiriku setelah abi meninggalkanku. Umi cuma mau memastikan kalau aku tidak apa-apa dengan bertanya ini itu, tapi hanya jawaban dingin yang ku berikan. Aku masih tidak merubah posisiku saat umi datang tapi setelahnya aku pun pergi meninggalkan umi.

Setelahnya terdengar perdebatan antara umi dan abi di kamar mereka.

Hah...

Ini semua adalah sebabku...

Sampai kapan ku harus begini?

Mungkin entahlah...

Entah sampai kapan.

****

Di sebuah bangku panjang di depan kedai aku termenung. Termenung aku memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Baru kali ini abi memukul wajahku.

Pikiranku kembali mengingat kejadian-kejadian yang ku alami di masa yang telah lalu. Seberapa sering abi memukulku? Tapi sepertinya tidak sering sih. tapi kali ini emang sudah diluar dari hal yang biasa. Abi memukul wajahku.

Bukan sakit di wajahku yang ku rasakan, tapi sakit di hati ini yang telah kering akan kasih sayang. Hatiku begitu hampa. Hidupku emang benar-benar kacau.

****
Setelah mendengar penjelasan dari umi, ternyata abi dah tahu kalau aku tadi malam sebenarnya sudah pulang. Umi kecewa sama sikap abi karena membiarkan aku berada di luar rumah di malam hari yang dingin. Wajar bila aku menginap di ruamh tante kalau kejadiannya seperti itu. Umi membelaku di hadapan abi, dan umi rela bertengkar dengan abi karena membelaku.

Hah...

Sebuah pertengkaran antara umu dan abi...

Walau cuma adu suara dan argumen saja.

Maafkan Sandi mi...

Karena Sandi umi sering bertengkar dengan abi.

****

Kehidupanku yang semakin kacau saja membuat diriku semakin gerah. Pertikaian semakin panas karena tingkahku di rumah menyebabkan abi dan umi tegang-teganggan urat leher, saudaraku yang lain sudah bosan juga lihat tingkahku dan masih banyak yang lain yang menambah kejengkelan hidupku ini. Aku sudah tidak tahan lagi.

****

Tak apa lah...

Walau badai menerpaku di rumah, aku masih bisa main ke rumah Hamdani Kecil dan main playstation di sana atau sekedar bermain dengannya. Zain temanku di kampung ini juga tidak diperbolehkan main denganku sama abi. Kalau yang lain juga aku nggak begitu kenal.

Hah...

Hidupku yang penuh dengan kekecewaan.

Aku juga masih kecewa sama diriku.

Berapa banyak lagi masalah yang akan timbul karena keegoisanku semata.

Umi...

Maafkan Sandi.

****

“Apapun yang kakak lakukan benar atau salah, tapi umi tetap tidak terima kalau kakak di sakiti walau yang pukul itu adalah abi kakak sendiri. Begitulah pengorbanan umi dan kasih sayangnya. Kakak saja yang sering buat masalah untuk umi. Kakak tidak akan buat hati umi terluka lagi walau kenyataannya masih sering saja umi menangis karena kakak. Maaf umi...”



Kamis, 07 Januari 2016

KOSONG (Chapter 12)

Kini kau telah mendapatkan tiga bocah yang selalu menemani aku ketika aku lagi ingin. Walaupun nafsu ini bebas bersama mereka aku tetaplah merasa kesepian dan kekosongan di hatiku ini. Entah mengapa aku masih merasa ada yang kurang dalam hidupku. Aku masih saja tidak paham.

Dengan bujuk rayuku kepada dua bocah pertamaku Wahyu dan Angga aku melepaskan kegelisahan hatiku, mereka temani hariku. Entah mengapa, aku hanya melihat mereka hanyalah mesin pemuas nafsuku saja. Walau aku suka bermain bersama mereka dan anak-anak lainnya yang seumuran dengan mereka dan selalu baik terhadap mereka, aku hanya sekedar sayang yang normal saja dan itu tidaklah lebih.

Hari-hariku ku habiskan di belakang rumah yang ditemani sembunnya sawah dan pepohoan kakau yang lebat bersama dua bocah, Wahyu dan Angga. Mereka tetap tenang saja bersamaku dan tidak pernah berbuat macam-macam. Asal perut mereka kenyang dan hati mereka senang, mereka akan menuruti perintahku, itulah mereka.



****

Di lain sisi kehidupanku, aku hanya seorang anak biasa. Biasa di bully di sekolah, biasa dimarahi di rumah, biasa tidak memiliki teman. Semua itu menjadi hal yang biasa dalam hidupku. Di rumah aku hanya melihat teman-teman seumuranku yang sedang asiknya bermain-main di halaman depan rumahku, hampir setiap sore mereka bermain bola kaki di situ. Aku hanya bisa memandangi teman-teman sekampungku yang bahkan aku hampir tak pernah bermain dengan mereka. Aku hanya seorang anak biasa.

Bagi orang-orang aku hanya ini adalah anak culun dan penurut, bagi keluargaku aku adalah seekor kucing hitam yang harus diawasi, tapi sebenarnya aku adalah predator. Raptor si predator.

****

Hari ini aku sedang berada di sekolahku melakukan rutinitasku seperti biasa. Hamdani selalu setia menemani hariku di sekolah. Aku menjalani hariku yang biasa di sekolah bersama Hamdani teman akrabku. Kalau di rental playstation Hamdani Kecil juga selalu setia menemaniku di sana. Di kampung tetap saja aku melihat dua bocah yang selalu bersama dan selalu berkeliaran di pekarangan rumahku, Wahyu dan Angga. Hidupku terasa kosong.

Abi hampir tiap hari memarahiku dan Umi hampir tiap hari menasehatiku. Kedua kakak laki-lakiku juga tak mau kalah untuk memarahiku. Aku merasa hilang tak bermakna di rumahku sendiri. Pekerjaan abi tidak ada yang mau ku bantu karena setiap apa yang ku lakukan untuknya tidak pernah dihargainya, semua salah dan tidak layak disebut pekerjaan. Itu sebabnya aku tidak membantu abi. Jadi aku merasa tidak berhak menuntut apa pun dari abi, aku di rumah hanya numpang tinggal dan makan saja, kerja pun yang sewajarnya aja di rumah.

****

Hampi setiap malam aku keluar rumah untuk bermain playstation, entah itu di rental playstation langgananku yaitu rumah Hamdani Kecil atau di tempat yang lain yang tidak begitu jauh juga dari rumahku. aku merasakan kekosongan hati yang teramat dalam di dalam hatiku, aku telah kehilangan kehangatan cinta dari keluargaku. Inilah harga yang harus ku bayar untuk kebebasanku. Bukannya aku tidak mau dapat cinta kasih dari mereka tapi karena aku tak bisa menjadi anak yang baik di mata mereka, aku tidak bisa mengikuti semua aturan yang ada di rumah.

Walau terkadang aku terlihat bahagia dan selalu memasang wajah senyum, bermain bersama teman sekolahku, bermain bersama Hamdani Kecil dan Hermawan temannya, juga bersama Wahyu dan Angga di kampung, aku tetap merasakan ada yang kurang. Mereka semua tidaklah bisa melengkapi hidupku, walau mereka semua dapat menggembirakan aku.

****

Waktu sudah menunjukkan jam 23.00 wib. Segera aku beranjak dari rental playstation menuju rumah. Tak biasanya juga aku itu pulang sampai selarut ini. Mungkin bagi sebagian temanku jam segini masih terlalu cepat untuk pulang tapi di keluargaku yang supersibuk, mereka mematok jam segini itu sudah sangat lewat batas karena mereka mau istirahat untuk aktifias esok hari.

Berjalan sendiri di kesunyian malam dengan hati yang hampa. Walau sesaat aku merasa bahagia ketiaka sedang main playstation, tapi aku merasakan kehampaan yang berkepanjangan setelahnya. Semakin sering aku meninggalkan rumah untuk main playstation, semakin jauh jarak yang ku buat dengan keluargaku.

Sesampainya aku di depan rumahku, aku melihat suasana sudah gelap cuma lampu teras saja yang masih hidup. Aku ketuk pintu sambil memanggil umi.

Tok Tok Tok “Umi...” begitulah sambil berulang kali aku  mengetuk pintu sambil memanggil-manggil umi.

Biasanya umi yang selalu setia membukakan pintuku, tapi kali ini tidak ada respon dari dalam rumah.

“Apa mungkin semua penghuni rumah sudah tertidur?” begitu yang ku pikirkan.

Lama aku ketok pintu depan rumahku berharap ada yang membukakan pintu, tapi tetap saja tidak ada yang membukakan. Malam sudah semakin larut dan aku masih saja berada di luar rumah. Merenungi nasib di luar rumah sambil ditemani nyamuk yang banyak.

“Hah... inilah hukuman untukku ya? Tak mengapa.” Begitu pikirku.

Lama aku mengenang kehidupanku yang kian hari makin berantakan.

“Akankah aku harus menunggu pagi di sini?” aku berpikir untuk menentukan pilihan.

“Dingin... malam yang dingin dengan banyak nyamuk.”

****

“Yup... aku putuskan untuk pergi kerumah tante.”

Biasanya aku itu juga nginap di rumah tanteku yang sudah tua itu yang sudah ditinggal mati suaminya. Tapi kali ini aku kan belum minta izin untuk nginap di sana dan tanteku juga belum tahu aku akan datang.

“Tak mengapalah, semoga tante izinkan aku nginap di rumahnya.”

Rumah tante tidaklah jauh, hanya 200 m dari rumahku. tiap hari juga aku melewati rumanya kalau mau main.

Ku langkahkan kakiku ke rumah tante dan aku ketuk pintunya sambil memanggilnya.

Tok tok tok “Tante...” begitu panggilku.

Tak berapa lama pintu pun dibuka dan aku dipersilahkan masuk dan diperbolehkan juga menginap malam ini di rumahnya.

****

Aku berbaring di sebuah kamar di rumah tante, tempat biasa aku tidur ketika menginap di rumah tante. Rumah tante memiliki 3 kamar: kamar tante, kamar anak perempuannya, dan kamar anak laki-lakinya dan aku tidur di kamar anak laki-lakinya yang lagi tidak ada di tempat. Wasih merenungkan hal yang sama, tentang nasibku dan kekosongan hatiku dan tak lama setelah itu aku pun tertidur.

****

Aku ingat hari itu adalah Minggu pagi karena tidak ada sekolah.

“Kamu tidak pulang ke rumah? Nanti dicari abi dan umimu loh.” tanya tante.

“Iya Tan...” jawabku.

Aku bergegas pulang ke rumah dan mendapati umi sudah cemas melihatku, aku tidak menemukan abi karena abi sudah pergi ke sawah.

****

“Apa yang bakal terjadi kalau aku bertemu abi ya?” itu yang ada dalam pikiranku.

****

“Adek kakak... seberapa pun besarnya kasih sayang dan kesenangan yang kita dapatkan di luar, itu tidak akan bisa menggantikan kerinduan hati kita terhadap keluarga kita. Walaupun keadaan ini semakin rumit, kakak masih berharap mendapatkan kasih sayang dari keluarga kakak. Kakak ingin mereka yang mengisi kekosongan hati kakak dengan kasih dan cinta mereka.”